November 08, 2007

Mohammad Aksa Mahmud

Pengusaha Jangan Hanya Pikirkan Laba

Oleh: Andi Suruji/Abun Sanda

MOHAMMAD Aksa Mahmud. Nama ini tidak sepopuler dengan sejumlah konglomerat penyandang nama besar. Tapi bagi masyarakat Sulawesi Selatan, Aksa dielukan sebagai "konglomerat muda" --karena kemampuannya dalam tempo singkat survive pada demikian banyak bidang usaha. Ia dinilai memberi kontribusi besar dalam mengharumkan nama Sulsel dalam kancah bisnis.

Dikenal rendah hati, Aksa jarang bersedia memberi komentar kepada pers. Jika ada sesuatu yang hendak dipublikasikan, ia cenderung meminta stafnya yang berbicara. "Seorang pengusaha harus low profile, tidak perlu banyak bicara. Toh yang penting dalam bisnis, bagaimana memenangkan persaingan, merebut peluang yang ada," Aksa memberi argumentasi ketika ditemui di kediamannya yang asri dan resik di Menteng, Jakarta Pusat, hari Jumat ini.

Dalam catatan Kompas, pria kelahiran Barru Sulawesi Selatan, 16 Juli 1945 ini bergerak di empat divisi usaha, makanan, otomotif, industri dan lembaga keuangan. Ia, di antaranya menjadi dealer mobil Mitsubishi di delapan propinsi di Indonesia Timur, terjun di beberapa jenis industri termasuk karoseri mobil dan batu marmer. Ia memiliki perusahaan kontraktor terpandang yang di antaranya menekuni pembangunan jalan tol, Tuju Wali-wali, salah satu eksportir udang terbesar di luar Jawa, jasa taksi di beberapa kota besar di Indonesia, air mineral, lembaga keuangan non bank (leasing). Semua dengan bendera usahanya, yang berkibar, Bosowa.

Tak sampai di sini, ia membangun pabrik semen di Bantimurung, Maros, pinggiran Makassar, dengan kapasitas terpasang 1,5 juta ton per tahun. Proyek itu menelan total biaya setengah trilyun rupiah lebih. Kiprahnya dalam sejumlah sektor bisnis, sejumlah proyek besar di kawasan Indonesia Timur dan Jawa Barat, membuat dia masuk dalam daftar pendek "pendatang baru elite" bisnis Indonesia. "Jika Tuhan mengizinkan, proyek itu pasti jadi," katanya. Lelaki sederhana ini dikenal tak mau takabur, sehingga semua rencananya selalu ia dahului dengan kalimat," Jika Tuhan mengizinkan..."

* * *

BEBERAPA segi yang membuat banyak orang kagum kepada Aksa Mahmud adalah keuletan dan kejujurannya. Ini mungkin karena ia pengusaha yang benar-benar berangkat dari bawah.

Semuanya, berawal ketika ia masih duduk di bangku SD di Mangkoso, kota kecil di Kabupaten Barru, 102 km utara Makassar. Di sela-sela waktu belajar, ia menyempatkan diri jualan permen. Pulang sekolah Aksa kecil jualan es di depan masjid.

Semasa duduk di bangku SMP Pare-pare (kota terbesar kedua di Sulsel setelah Makassar-red), "tradisi" dagang itu ia lanjutkan. Jika liburan sekolah, ia membawa hasil-hasil laut bernilai tinggi seperti rumput laut, japing, lola ke kota Pare-pare dan Makassar. Hasil jualan hasil laut memberinya bekal cukup untuk sekolah dan jajan. "Mungkin juga karena pernah demikian lama menekuni bidang ini sehingga Bosowa terjun dalam bisnis udang dan rumput laut," katanya.

Tak puas sekolah di Pare-pare, Aksa hijrah ke Makassar dan masuk STM, lalu Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin. Tapi hanya sampai sarjana muda, ia tak melanjutkan kuliahnya karena keasyikan terjun dalam gemuruh aksi mahasiswa tahun 1966 dan situasi pendidikan saat itu yang labil.

Aksa sempat beberapa tahun ikut mengurus pers daerah, tetapi ia akhirnya memutuskan memilih jalur bisnis. Ia bergabung di perusahaan seniornya di Universitas Hasanuddin, HM Jusuf Kalla SE, NV Haji Kalla. Aksa mulai dari bawah, 1968, hingga akhirnya menjadi direktur salah satu anak perusahaan besar di Indonesia Timur itu.

Sementara itu, perusahaan Aksa sendiri, Bosowa, kian berkembang. Aksa pun akhirnya sepenuhnya mengurus Bosowa.

"Bosowa dikembangkan, antara lain dengan modal pinjaman Rp 5 juta dari BNI Pare-pare. Awalnya menjadi dealer mobil Datsun. Bubar dengan Datsun, saya menjadi dealer Mitsubishi sampai sekarang," katanya. Lalu satu persatu perusahaan multi bidang Aksa tekuni, hingga akhirnya kini ia memimpin 19 perusahaan, dengan spesifikasi berbeda. Dari udang sampai semen.

"Mengapa semen?" Aksa menjawab, bisnis itu sudah direncanakannya sejak 1991 lalu. Awalnya, ia tersentuh pada pengalamannya kerja di NV Haji Kalla beberapa dasa warsa silam. Perusahaan itu, tahun pertama Pelita I (1969) memenangkan tender semen di PU sebanyak 500 zak. Untuk "mengawal" pemindahan semen itu dari gudang toko ke gudang PU, ia mengendarai sepeda motor. Sesudah itu, berturut-turut perusahaan tersebut memenangkan tender semen dalam jumlah lebih banyak.

Mungkin lantaran latar belakang itulah, sehingga ia kemudian secara guyon mengatakan, kalau Tuhan memberi rezeki, ia hendak membangun pabrik semen. "Alhamdulillah, keinginan itu terkabul." Ia mengsyukuri nikmat Tuhan.

* * *

AKSA adalah sosok pelaku bisnis yang suka memandang bisnis dari kaca mata murni. Maka, ia selalu berusaha memenangkan pertarungan merebut peluang bisnis. Namun ia cepat menyebutkan bahwa bagaimana pun "lurusnya" pandangan dia terhadap bidang bisnis, ia selalu tidak pernah menanggalkan sisi-sisi manusiawi dari aktivitas bisnis itu. Ia tidak ingin menyakiti, dan tidak ingin "mematikan" golongan yang relatif kecil. "Bisnis seperti "perang", tetapi pengusaha tidak bisa hanya memikirkan laba, hegemoni usaha. Pengusaha mesti juga memikirkan sisi-sisi manusiawi," katanya.

Menurut beberapa staf dekatnya, Aksa selalu berpesan agar Bosowa sebagai suatu badan usaha yang telah berkembang, tidak turut "bertarung" di lahan pengusaha yang sedang berkembang. Ini tidak terlepas dari pengalaman Aksa, betapa banyak suka-duka yang dialaminya ketika membangun dan mengembangkan suatu usaha kecil menjadi besar.

Sisi lain yang paling penting, menurut penggemar golf dan jogging ini ialah memperhatikan sumber daya manusia di perusahaan. Ia tidak pernah menganggap dan memperlakukan stafnya ibarat pegawai beneran. Akrab dengan stafnya, ia berpendapat, seorang "bos" perusahaan tidak boleh mengambil alienasi, tidak benar jika memandang staf sebagai orang yang makan gaji semata. Para staf justru mesti diajak dan digugah untuk memiliki kebanggaan dan rasa memiliki perusahaan itu. "Habislah si pengusaha kalau berpikir mampu bekerja sedirian. Tanpa staf, si boss, bagaimana pun hebatnya, tak akan bisa apa-apa," katanya.

Namun lepas dari itu, Aksa dikenal kerap membuat stafnya kalang kabut sebab sering tiba-tiba ingin melakukan sesuatu yang tak "pantas" dilakukan lagi seorang bos seperti dia. Baru-baru ini misalnya, ketika meninjau lokasi pabrik semen, ia tiba-tiba ingin mencapai lokasi pabrik semen dengan berjalan kaki beberapa kilometer. Bahkan harus naik turun gunung dan menembus semak belukar, padahal hari itu masih dalam bulan puasa, dan mentari bersinar sangat terik.

Anak buahnya yang "tumbang" dalam perjalanan jauh itu, disuruhnya mengaso, tak perlu mengikutinya.

Aksa mengaku sangat menikmati hal-hal seperti itu, sebagai seni kepemimpinan. Prinsip dia, jauh lebih ideal melihat sekali, daripada mendengar seratus kali. "Jalan kaki sekian kilometer toh olahraga juga, tak ubahnya main golf sekian hole," Aksa tergelak-gelak.

Boleh jadi karena sifatnya sebagai pekerja keras tadi, lalu disimbolisasikan dengan kegemarannya mengoleksi patung-patung kecil kuda jantan. Di atas lemari bufet di ruang tamu rumahnya, terdapat enam patung kuda berbagai posisi. Patung berestetika tinggi itu, terbuat dari bahan kayu hitam dan kristal.

Di dinding ruang tamu itu pula tergantung sebuah lukisan besar pajjonga (pemburu rusa -red). Pajjonga merupakan salah satu simbol kejantanan manusia elite Sulsel. Gambar itu menunjukkan betapa dengan gagah berani, di atas kuda-kuda pilihan, pemburu itu menjerat rusa-rusa liar dengan hanya seutas tali.

* * *

DI kalangan pengusaha di Makassar, Aksa dikenal sebagai pengusaha bertangan dingin, punya hubungan luas dengan birokrat dan usahawan lain. Ia pun dikenal sebagai pekerja keras dan pelobi kelas kakap. Ibaratnya, apa yang dikerjakannya, berpotensi sukses, meski harus melalui perjuangan keras dan ketekunan melobi.

"Kerap orang lain menilai suatu proyek kecil kemungkinannya berhasil, tetapi Aksa malah melihat masih ada kemungkinannya untuk sukses. Semangat pantang menyerah, melobi mitra ini yang kami pelajari dari Aksa," ujar Bachder Djohan, salah seorang kadernya di Hipmi Sulsel.

Bachder benar. Kelihaian melobi dan kedekatan hubungan dengan banyak kalangan itulah yang menjadi salah pilar kekuatannya. Dari hampir 20 perusahaan besar yang dikemudikannya, 60 persen di antaranya, hasil ambil alih. Bos-bos perusahaan-perusahaan pailit, atau pihak perbankan, kerap mendekati dia untuk melakukan "take over" atas perusahaan yang "runtuh".

Jika melihat masih ada peluang membangun perusahaan "runtuh" tadi, Aksa segera mengambil alih. Pengambilalihan itu ternyata kerap sukses. Agaknya, ia tidak sekedar pandai melihat feasible tidaknya suatu usaha tetapi ia juga memiliki daya intuisi dan feeling bisnis yang tajam.

Soal-soal manusiawi dan kerja keras tersebut, ditanamkan benar oleh Aksa dan istrinya, Ramlah, anak ketujuh "trah" Kalla kepada lima orang anaknya, Erwin (19), kini kuliah di jurusan bisnis Pitsburg University, Sadikin (17) SMA III Bandung, Melinda (15) SMA di Singapura, Athirah (12) kelas VI SD dan Muhammad Subhan (8 tahun).

Kelima anaknya ia didik dalam cara-cara khas Bugis, keras tetapi manusiawi. "Saya tidak mau melihat anak saya petantang-petenteng, mentang-mentang jadi anak pengusaha. Saya ingin mereka rendah hati, taat beribadah, pintar di sekolah," ujarnya. (Andi Suruji/Abun Sanda)

KOMPAS - Selasa, 11 Apr 1995 Halaman: 20

November 07, 2007

Andi Siti Nurhani

Menari Untuk Propaganda Buta Huruf

Oleh: Andi Suruji

PENERIMA anugerah seni dari pemerintah RI ini, ingin rasanya menangis setiap menyaksikan tarian tradisional Sulawesi Selatan dipertunjukkan. Belasan tari tradisional ciptaan dan gubahannya yang sering ditarikan sekarang sudah semakin jauh melenceng dari aslinya.

"Itu terjadi karena kurangnya penghayatan penari. Para pelatih pun kurang memahami hakekat tari tersebut. Makanya penari-penari itu tampil seadanya. Padahal, penataan suatu tari mengandung makna yang syarat dengan simbol-simbol kebudyaan Sulsel," ujar Andi Sitti Nurhani (66) dalam percakapan dengan Kompas beberapa waktu lalu, di kediamannya.

Dahulu, kata Ibu Nani - begitu panggilan akrabnya - tujuannya menggeluti seni tari, sebagai sarana propaganda untuk memberantas buta huruf. Sebab pada tahun 1947 itu, buta huruf di Sulsel adalah penyakit masyarakat yang harus segera diberantas. Penyakit ini terutama melanda kaum hawa. Sebab, hanya wanita tertentu saja yang dapat mengenyam pendidikan memadai. "Saya pikir, banyak cara memberantasnya, termasuk melalui kegiatan kesenian," katanya.

Tetapi sekarang, saat hampir tidak ada lagi orang buta huruf, justru tari-tarian yang diciptakannya semakin tak keruan. Menyedihkan memang. "Bagaimana tidak, pejabat hanya menuntut tari tradisional yang baik. Sementara mereka tidak memperhatikannya. Kalau mereka diundang menonton pertunjukan, undangannya diberikan kepada pembantu rumahtangganya," ucap Nani.

Menyadari pula pentingnya seni sebagai wadah pembinaan nilai-nilai budaya bangsa, berbekal pengalaman berkesenian yang cukup matang, ia mendirikan Institut Kesenian Sulawesi (IKS) tahun 1962. Tujuannya adalah membina moral bangsa melalui pendidikan kesenian yang teratur dan terarah. IKS kemudian berkembang dan memiliki 16 cabang. Mengapa namanya institut, padahal bukan lembaga pendidikan formal? Nani menjawab, dengan institut ada beban moral bagi pengurusnya untuk membina kesenian secara teratur dan terarah. Ini pula, katanya, membedakan IKS dari grup-grup kesenian lain yang tidak menitikberatkan pembinaannya pada pendidikan yang teratur dan terarah.
* * *

MELALUI lembaga itulah, Nani mencipta dan menggali tari-tari tradisional. Banyak tari yang semula sudah terkubur, lantaran bubarnya kerajaan-kerajaan, digali dan digubah sampai menjadi tari yang berestetika tinggi. Belasan tari tradisional Sulsel yang sarat makna, lahir dari kerja keras dan permenungannya yang dalam.

Lembaga ini pula, melahirkan penari-penari yang menggeluti seni tari secara serius. Penari-penari binaannya menjadi langganan Istana Negara zaman Presiden Soekarno. Tari-tarian yang menggambarkan budaya manusia Sulsel dari empat etnis besar, dipentaskan pada resepsi HUT Proklamasi, atau kala negara kedatangan tamu. Sering pula ditampilkan pada kegiatan-kegiatan internasional. Ia pun pernah membawa "bendera" kesenian Sulsel, bahkan Indonesia menjelajah pentas-pentas internasional.

Tari, menurut Nani bukan sekadar gerakan-gerakan indah dan ciri suatu masyarakat. Di dalamnya ada unsur seni lain. Seperti, seni penataan busana, seni suara dan seni musik. Dan dalam mencipta atau menggubah suatu tari, Nani bekerja keras memahami betul seni-seni itu agar menyatu dan melahirkan harmonisasi yang utuh. "Tetapi tidak demikian anak-anak sekarang. Penghayatan terhadap aspek-aspek yang terkait itu sangat kurang," begitu penilaiannya.

Nani memang bukan hanya pakar tari tradisional. Kesenian dengan sejumlah cabangnya, ibarat darah yang harus mengalir dalam tubuhnya. Minatnya memahami cabang seni lain amat besar. Maka dalam menggubah sebuah tari, bukan sekedar gerakan yang ia harus tata. Tetapi juga busana, dan musik pengiringnya.

Ia dikenal pula dahulu sebagai biduanita yang bersuara merdu. Meski ketika mulai menyanyi, ia harus menyembunyikan identitas dirinya dengan memakai nama samaran Daeng Sugi. "Nama samaran waktu itu sangat dibutuhkan, karena status penyanyi belum seindah sekarang," kenangnya. Mungkin juga karena ia seorang anak bangsawan yang dinilai tidak pantas menjadi penyanyi.

Ia pun mengungkap kembali sejumlah lagu-lagu daerah tradisional Bugis yang sampai sekarang masih dapat didengarkan dinyanyikan anak-anak sekolah dasar. Ia juga menulis naskah sandiwara radio Majulah Puteriku. "Kisah itu melukiskan rintihan gadis Bugis-Makassar yang masih terbelakang dan ingin maju," ucap pengagum RA Kartini itu.

Ketekunannya dan pengabdiannya menggali nilai-nilai budaya bangsa itulah, sehingga pemerintah RI memberinya piagam Anugerah Seni tahun 1972. Sebuah buku tentang riwayat hidup dan proses kreatifnya telah diterbitkan Depdikbud, sebagai penghargaan atas ketekunannya membina kesenian tak putus selama 20 tahun.

Pemerintah Australia pun memberinya penghargaan kebudayaan "Cultur Award". Dan tahun 1976, Pemda Ujungpandang memberinya penghargaan sebagai warga teladan dari kalangan budayawan.

* * *
TATKALA menyaksikan tari-tari tradisional Sulsel kini semakin jauh melenceng dari bentuknya semula, darah seninya seolah kembali mendidih. Usia yang sudah senja, lahir 25 Juni 1929, bukan penghalang baginya. Apalagi, anugerah seni yang diberikan pemerintah kepadanya, seolah memompa darah seninya untuk berbuat sesuatu, menyelamatkan nilai-nilai budaya, seni tari tradisional Sulsel, terutama yang ciptaan atau gubahannya.

Akhirnya, di awal tahun 1995 ini, ia mengaktifkan kembali IKS yang "tidur" hampir 20 tahun lamanya. Kegiatan pertama dalam "kebangkitan kedua" IKS ini adalah pelatihan bagi puluhan calon-calon pembina seni musik dan vokal. "Kalau dulu IKS identik dengan seni tari, maka kebangkitan kedua ini kami mulai dengan bidang lain. Sebab inilah yang saya lihat semakin kurang dasarnya bagi anak-anak di sini," katanya.

Tidak sukar bagi Nani mendatangkan calon-calon pelatih dari daerah untuk ditatar. Sebab sebagai seorang istri mantan bupati, bahkan bekas muridnya banyak istri-istri bupati dan pejabat di daerah, ia bisa melobi mereka cukup melalui telepon. "Tapi kita surati juga secara resmi sesuai prosedur organisasi," katanya.

Lagi pula, menurut Nani, Gubernur Sulsel, Zainal Basrie Palaguna mendukung kegiatan ini guna mempertahankan budaya tradisional bagi generasi muda, di tengah arus globalisasi yang demikian deras. Palaguna pun "menyuntikkan" dana kepada IKS agar lembaga ini kembali bergairah. "Ya, kami sependapat bahwa kesenian tradisional ini harus dibina, diperhatikan oleh kita semua," katanya.

* * *

AKTIVITAS cucu seorang pejuang itu, di bidang kesenian dahulu, memang tidak menjadi soal. Sebagai keturunan bangsawan, kata-kata dan tindak lakunya bisa diteladani masyarakat, sehingga tidak sulit baginya mengajak masyarakat terlibat dalam kegiatan yang dibinanya. Apalagi anak-anaknya, khususnya yang wanita, selain aktif menari juga semuanya bisa menyelesaikan studinya sampai sarjana, meski bukan melalui jalur pendidikan kesenian formal.

Sebagai seorang istri bupati, Nani menyimpan kenangan yang sukar dilupakannya. Ketika suaminya, Andi Sapada (almarhum), menjadi bupati pertama di Sidenreng Rappang, keadaan negara memang masih serba kekurangan. Kas daerah saja kosong. Ketika itu, Nani merelakan perhiasan berliannya dilego seharga Rp 500.000. Separuhnya diberikan kepada suaminya untuk membangun Sidrap, sisanya untuk membeli rumah dan mobil bekas. "Mobil itu lebih banyak dipakai bupati untuk perjalanan dinas," kenang penggemar berat membaca ini.

Boleh jadi, di era sekarang, sukar dijumpai lagi seorang istri bupati seperti Nani yang rela menjual harta pribadinya untuk kepentingan pembangunan. Sebab dana pembangunan sudah tersedia, tinggal bagaimana mengelolanya. Tetapi Nani, dalam kondisi dana yang terbatas, ia bisa berkreasi, menciptakan sesuatu yang berguna bagi daerahnya. Bahkan terhadap pembinaan budaya bangsa. Sampai kini.... (andi suruji)

KOMPAS - Selasa, 07 Mar 1995 Halaman: 17

LE Manuhua

Lebih Jauh Dengan LE Manuhua

PENGANTAR REDAKSI
DI kalangan wartawan dan penerbitan pers, namanya tidak asing
lagi. Lazarus Eduard Manuhua adalah pekerja pers dan grafika yang
ulet dan patriotik. Dan, karena ia adalah wartawan pejuang dan
pejuang wartawan yang mengabdi sebagai insan pers sejak usia 18
tahun maka putra kelahiran Ambon tanggal 4 Juni 1925 ini dianugerahi
Bintang Mahaputra Utama oleh kepala negara pada 15 Agustus 1994.
Ketika melangkahkah kaki yang pertama ke penerbitan pers Sinar
Matahari tahun 1943 di Ambon (zaman pendudukan Jepang), ia sama
sekali tidak bercita-cita menjadi wartawan buat seumur hidupnya.

Tapi begitu lengket dengan kehidupan jurnalistik, ia tidak mampu
melepaskan diri lagi, terutama karena pers pada waktu itu adalah
sarana penyaluran nasionalisme dan patriotisme. Bahkan bila terjadi
reinkarnasi, ia tetap memilih profesi wartawan dalam kehidupan
selanjutnya.

Karena tulisan-tulisannya yang bernapaskan nasionalisme dan
cinta tanah air, maka ia dikenakan tahanan kota oleh polisi Belanda
pada April 1947. "Musibah" inilah yang menjadikannya kabur ke
Ujungpandang dan menjadi sesepuh pers di kota Angingmammiri hingga
detik ini.

Ia melarikan diri dan bersembunyi di sebuah kapal Belanda yang
berlayar dari Ambon ke Makassar, dan mendarat di ibu kota Negara
Indonesia Timur (waktu itu) pada 19 April 1947. Tujuan sebenarnya
adalah kota perjuangan Yogyakarta. Tapi, beberapa wartawan RI dan
wartawan Makassar yang menghadiri pembukaan sidang parlemen NIT
menganjurkannya tetap di Ujungpandang saja. "Orang macam kamu banyak
di Yogya, justru kamu sangat dibutuhkan di sini," demikian antara
lain saran pimpinan Mingguan Pedoman, Soegardo.

Maka ia bergabung dengan Mingguan Pedoman yang terbit sejak 1
Maret 1947 yang kemudian menjelma menjadi Pedoman Harian, seterusnya
menjadi harian Pedoman Rakyat (PR). Manuhua menjadi orang nomor satu
di PR setelah Sugardo diusir pemerintahan NIT, dan Henk Rondonuwu
mengundurkan diri dari kepemimpinan PR.

Dalam organisasi Perstuan Wartawan Indonesia Manuhua sudah
"karatan". Sejak tahun 1953 sampai sekarang Manuhua menjadi pengurus
pusat. Sebagai ketua, anggota dewan pembina dan terakhir sebagai
penasihat selama tiga periode (1983-1998).

Di Serikat Penerbit Suratkabar pun ia menjadi pengurus pusat
sejak tahun 1960-an sampai kini. Mulai dari anggota pleno, anggota
dewan kehormatan, anggota dewan pertimbangan, dan terakhir sebagai
ia menjabat Ketua Dewan Kehormatan SPS periode 1994 - 1999.
Manuhua pekerja pers yang nyaris sempurna. Bukan saja di PWI
dan SPS ia berkiprah, di dunia cetak mencetak pun ia aktif. Ia turut
mendirikan Serikat Grafika Pers dan sejak 1994 - 1999 masih duduk
selaku anggota dewan pembina.

Empat tahun setelah hijrah ke Ujungpandang, ia mempersunting
Johana Leonora Wacanno. Isteri yang memberinya delapan anak tersebut
juga berasal dari "Propinsi 1.000 Pulau".

Kakek 15 cucu ini berpendapat, wartawan yang baik adalah yang
obyektif. Untuk menjadi wartawan obyektif menurut Manuhua, wartawan
jangan mau masuk "kotak" terutama kotak-kotak organisasi politik.
"Begitu wartawan melangkah ke salah satu orsospol, maka hilanglah
obyektivitasnya. Hanya kotak dialah yang paling baik, hanya kotak
dia yang paling benar."

Dalam rangkaian Hari Pers Nasional yang rencananya berlangsung
dari 9 - 12 Februari 1995, di Manado, Sulut, Kompas mewawancarai
tokoh pers dari kawasan timur Indonesia ini. Berikut petikan
wawancaranya.
============================================================
MENGAPA menjadi wartawan?
Ketika pendudukan Jepang, saya mulai bekerja di kantor
pemerintah setempat. Kemudian dipindahkan ke sebuah kantor Jepang
juga yang berkedok urusan keberatan rakyat. Tapi cuma enam bulan.
Pada November 1943, saya menjadi wartawan surat kabar Sinar
Matahari di Ambon, sebagai reporter. Usia saya baru 18 tahun, tapi
sebelumnya sudah sering menulis artikel pada koran itu mengenai
kegiatan pemuda dan mengobarkan nasionalisme. Sebagai tamatan
perguruan Balai Pendidikan yang berafiliasi dengan Taman Siswa, kita
diajarkan nasionalisme. Maka media pers adalah sarana perjuangan
yang luhur untuk kepentingan bangsa dan tanah air.

Apakah memang bercita-cita jadi wartawan?
Saya sama sekali tidak berkeinginan pekerjaaan kewartawanan ini
akan saya jalani seumur hidup. Tapi, begitu melengket, kok tak bisa
lepas lagi. Selain media surat kabar, saya juga menyalurkan aspirasi
kemerdekaan melalui sandiwara. Dulu di sana ada satu perusahaan
hiburan bernama Sandiwara Arjuna. Saya anggota di situ. Tiap malam
naik panggung.

Lalu...?
Jepang kalah, diterbitkan surat kabar Pendidikan Rakyat. Saya
masuk, sebab yang menerbitkannya orang-orang Sinar Matahari juga.
Pendidikan Rakyat berubah menjadi Masa, tahun 1946. Masa terutama
membawakan suara Partai Indonesia Merdeka (PIM).
Ternyata, kegiatan surat kabar dan organisasi itu mendapat
perhatian juga dari Belanda. Saya diperiksa Oditur Militer Belanda
karena tulisan saya di Masa mengenai korupsi bahan-bahan makanan.
Semula pemimpin redaksinya dimintai keterangan, akhirnya ia
melimpahkannya kepada saya sebagai penulis artikel.

Panggilan itu dipenuhi?
Saya penuhi. Ya, saya baca juga KUHP Belanda. Oditur itu
mengancam saya bisa sampai kehilangan hak memilih dan dipilih. Saya
takut juga. Kita memperjuangkan demokrasi dan demokrasi itu, di situ
justru kita punya hak memilih dan dipilih. Tapi hari ketiga
pemeriksaan, suaranya agak menurun dan lebih banyak menasihati saya.
Bahkan dia minta saya sewaktu-waktu datang ke rumahnya untuk
berbincang-bincang. Tapi saya tidak pernah datang.

Bagaimana sampai "terdampar" di Makassar?
Karena tulisan di surat kabar ditambah kegiatan di organisasi
pemuda, saya dikenakan tahanan kota. Seandainya tidak ada tahanan
kota, kemungkinan saya tidak pernah keluar dari Ambon. Bulan
Februari 1946 saya mendirikan organisasi pemuda PPI (Persatuan
Pemuda Indonesia). Tujuannya melakukan perjuangan melawan Belanda.
Untuk kepentingan perjuangan PPI saya pernah mencari sisa-sisa
senjata Jepang ke Pulau Seram. Ternyata sudah dilucuti tentara
Sekutu, Australia.

Gara-gara tahanan kota, keluar dari Ambon ?
Status tahanan kota ini suatu tantangan bagi saya. Saya harus
terobos. Tujuan saya ke Yogyakarta, ibu kota RI untuk ikut berjuang.
Kebetulan, April 1947 ada kapal Belanda yang mau ke Makassar
(sekarang Ujungpandang) tiba dari Irian. Tiba pukul delapan malam,
dan akan berangkat pukul 10 malam. Saya pikir ini kesempatan paling
baik. Karena waktu singgahnya pendek, tentu kontrolnya kurang.
Kebetulan pula, saya ingin menghadiri pembukaan Parlemen Negara
Indonesia Timur (NIT) di Makassar, untuk berita di Masa. Kalau tidak
salah, tanggal 20 atau 21 April 1947.

Saya sudah punya tiket dengan nama orang lain. Tak seorang pun,
termasuk orangtua, tahu rencana ini karena saya takut gagal
berangkat. Begitu saya naik kapal, saya sembunyi di kamar seorang
anggota parlemen beraliran kebangsaan juga. Di situlah, baru
ketahuan karena bertemu ibu asuh dan juga guru saya, Ny Pupela.
Waktu itu, dia mendampingi suaminya mengikuti acara pembukaan
Parlemen NIT.

Beberapa mil sebelum kapal itu tiba di Makassar, ada
pengumuman. Semua penumpang dilarang turun. Polisi akan masuk ke
kapal, karena ada orang yang lari dari Ambon. Cilaka. Saya pikir,
barangkali saya yang dimaksud.

Bagaimana menyelamatkan diri?
Waktu terdengar pengumuman itu, saya di tempat nakhoda. Karena
bawa foto tustel, saya berlagak saja. Tidak ada filmnya. Waktu itu,
kita mau dapat film dari mana. Sewaktu kapal mulai sandar di
dermaga, saya mulai beraksi, pura-pura jepret sana, jepret sini.
Ketika polisi mau naik, saya lebih dulu turun. Berlagak mau
foto polisi toh! Saya foto polisi itu sambil mundur-mundur. Waktu
mundur, mundur, mundur, saya bertemu penjemput Ny Pupela. Saya
langsung naik mobilnya sembunyi. Mobil truk, ha...ha...ha...

Lalu?
Besoknya saya hadiri acara pembukaan parlemen NIT di Frater,
sekarang SMA Rajawali. Di situ saya bertemu sejumlah wartawan yang
diundang ketua parlemen Mr Tajoeddin Noer. Antara lain, Sukrisno
dari Antara Jakarta, Siagian dari sebuah majalah di Yogya, dan Wim
Latumeten dari Kementerian Penerangan RI.

Pada suatu hari ketika meliput sidang parlemen, saya berkenalan
dengan Soegardo yang waktu itu pemimpin majalah Pedoman. Majalah ini
kemudian menjadi Pedoman Harian lalu berubah lagi jadi Harian
Pedoman Rakyat (PR) seperti sekarang. Dia tanya, mau ke mana setelah
ini. Saya bilang mau ke Yogya, sebab di Ambon tidak bisa berkembang
dan terlalu ditekan.

Soegardo menganjurkan saya tinggal saja membantu Pedoman.
Teman-teman seperti Sukrisno dan Siagian, juga menganjurkan saya
tidak usah ke Yogya. Katanya, tenaga seperti saya ini berlebihan di
sana. Justru di Makassar, tenaga seperti saya kurang. Saya pikir
benar juga. Saya putuskan, lebih baik tinggal di sini.

Lalu muncul keinginan seterusnya menekuni dunia kewartawan ini?
Sebenarnya saya dilahirkan untuk menjadi wartawan. Tapi bukan
cita-cita saya seumur hidup menjadi wartawan. Saya cuma beranggapan,
bagi saya, perjuangan menegakkan nasionalisme dan kemerdekaan satu-
satunya tempat adalah di bidang jurnalistik, tetapi bukan sebagai
pemimpin perusahaan atau penerbitan.

Kalau saya bertukar pikiran dengan Pak Jakob (Jakob Oetama,
Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Kompas - Red), saya punya garis nasib
seperti dia. Tetapi karena meningalnya PK Ojong, dia terpaksa
mengambil alih. Tapi latar belakang kami berbeda. Henk Rondonuwu
(yang menggantikan Sugardo) bukan meninggal. Dia itu politikus dan
wartawan. Sebenarnya prinsip kami sama, bukan pengusaha. Kalau Pak
Hengki wartawan dan politikus, saya bukan politikus.

PEDOMAN Rakyat tentu jatuh bangun juga sampai bisa seperti sekarang?
Ketika saya tiba di Makassar, Pedoman baru berusia sekitar satu
setengah bulan (didirikan 1 Maret 1947). Saya lihat segala-galanya
memang tidak ada. Kemudian saya dengar di sini ada seorang pejuang
yang dermawan, yaitu Andi Burhanuddin memberikan modal permulaaan
kepada majalah tengah bulanan Pedoman.

Kita terbit 36 halaman folio, kadang-kadang 12 halaman saja
berupa stensilan. Ternyata mendapat sambutan baik dari
pejuang, republiken yang berhadapan golongan federalis pimpinan
Van Mook. Tujuan kita, informasi yang disebarkan melalui mingguan
Pedoman sebanyak mungkin dapat dibaca. Masyarakat kita juga
terbatas penghasilannya, sehingga sukar diharapkan ada uang masuk
dari langganan. Jadi kita tidak menuntut, walaupun tiap-tiap
terbit mereka kita beri. Ini idealisme. Itu berlangsung belasan
tahun.

PR pernah jadi panggung Sulsel, sekarang semakin banyak
saingan. Bagaimana?
Memang dulu kita sendirian (harian). Tatkala datang harian
lain sebagai saingan, saya justru menganggap manfaatnya
sangat besar bagi tenaga kita, wartawan maupun tenaga di
bidang kepengusahaan. Karena ada persaingan, masing-masing harus berusaha
mempertahankan hak hidupnya.
Kita tekankan jangan kurang daripada apa yang bisa
diprestasikan pesaing kita. Walaupun kita akui saingan
berada dalam dalam grup konglomerasi, sehingga mereka mempunyai
kesempatan dan kemapuan lebih besar dibanding kita dalam
pengembangan di segala bidang termasuk bentuk persaingan
yang kadang-kadang menyimpang dari penggarisan organisasi.

Itu ada ya?
Ada. Misalnya, persiangan secara tidak sehat. Itu ada.

Konkretnya?
Dumping iklan, eceran, dan nomor perkenalan. Menurut
ketentuan, nomor perkenalan hanya tiga bulan. Berbagai surat
kabar yang berada dalam konglomerasi, kadang-kadang malah lebih
dari setahun memberi nomor perkenalan.

Bagaimana dengan lembaga kontrol?
Saya ini wasit, Ketua Dewan Kehormatan SPS dan bertugas untuk
itu.

Apa tindakan Anda?
Sukar. Banyak problem. Tapi saya kira tidak relevan diungkapkan
di sini. Itu masalah lain lagi.

Berapa tiras PR sekarang?
Masih tetap seperti dulu, sekitar 22.000.

Sengaja bertahan pada angka tiras itu?
Tidak, tetap sesuai pasar sebab sekarang semua berorientasi ke
pasar.

Bagaimana pengembangan PR di masa depan?
Semenjak awal 1994 saya merasakan eksistensi koran di daerah
agak terancam. Karena kemajuan teknologi, khususnya komunikasi,
televisi kita sudah lima stasiun. Tayangannya hampir 24 jam. Orang
hampir tidak punya waktu lagi membaca. Informasi yang lebih cepat,
lebih banyak mereka dapat melalui televisi. TV bisa menyiarkan
berita yang sedang terjadi, sedangkan koran menyiarkan berita yang
sudah terjadi. Terlambat selalu toh. Ini mengakibatkan masyarakat di
daerah yang kegemaran membacanya sudah rendah, menjadi lebih tidak
bergairah.

Iklan-iklan pun diserap televisi. Surat kabar terutama di
daerah sudah hampir tidak mendapat porsi lagi. Ketentuan perpajakan
yang mengharuskan PPN 10 persen dalam penjualan surat kabar
mengakibatkan harga koran bisa lebih mahal. Kita sulit memungut PPN
10 persen dari pelanggan. Sedangkan pihak pajak tidak mau tahu.
Dipungut atau tidak, apa yang ada dalam pembukuan langsung
dibebankan 10 persen PPN.

PR sekarang Rp 12.000 per bulan, kalau PPN dibebankan kepada
pelanggan, menjadi Rp 13.200. Sedangkan Rp 12.000 saja sudah susah,
apalagi kalau tambah lagi. Mereka sudah malas membaca karena
televisi, sekarang harga dinaikkan lagi dengan PPN, semakin tidak
membaca koran nantinya. Kami yang bayar PPN.

Masalah lainnya, kertas koran yang semakin mahal, dan terbatas
diproduksi di dalam negeri. Sedangkan untuk impor, dikenakan bea
masuk cukup berat. Dengan harga kertas koran yang terus naik, tiras
yang menurun, PPN 10 persen, alangkah beratnya bagi surat kabar
daerah mengembangkan diri.

Barangkali perlu pengaturan lagi soal PPN koran?
Memang. Bukan berarti koran di daerah tidak bisa bayar pajak
menurut ketentuan yang berlaku. Tetapi kalau segi-segi lain juga
menjadi pertimbangan pemerintah, justru di dalam pembangunan
sekarang ini yang tujuannya terutama ke daerah, khususnya kita di
kawasan timur ini, maka mestinya dalam penjualan koran yang
tujuannya menyebarkan informasi diberlakukan ketentuan PPN secara
progressif. Misalnya, surat kabar yang bertiras sampai 20.000,
dikenakan PPN nol persen. Yang 20.001 sampai 35.000 dikanakan PPN 5
persen. Tiras di atas 35.001, baru dikenakan 10 persen.

TIDAK ada rencana bergabung dengan kelompok media besar?
Belum ada rencana.

Mengapa bertahan sendirian?
Begini, tatkala konglomerasi mulai melebarkan sayapnya ke mass
media, mereka mencari penerbitan yang tidak punya apa-apa. Mereka
tidak melihat PR sebagai sasaran sebab PR semuanya sudah ada.
Kalaupun kita mau bergabung, apa yang kita minta.

Bagaimana wartawan yang baik menurut Anda?
Wah... Saya tidak bilang saya ini wartawan yang baik. Tetapi,
saya merasakan wartawan yang baik adalah wartawan yang obyektif.

Bagaimana kiat menjadi wartawan yang obyektif ?
Tidak terikat di dalam suatu organisasi politik. Itulah
sebabnya sejak penyerahan kedaulatan saya tidak menggabungkan diri
dalam sesuatu parpol, sampai sekarang.
Sebab begini, saya melihat jika kita terikat dalam satu partai
politik, kita tidak bisa obyektif dalam sesuatu permasalahan. Sampai
tahun 1960-an, saya wajibkan semua anggota redaksi PR tidak menjadi
anggota partai politik. Mengapa? Karena dalam pergolakan politik
yang tidak habis-habisnya berlangsung di Indonesia ini dia bisa
berdiri di atas semua pihak. Anggapan saya, seorang wartawan baru
bisa obyektif manakala tidak terikat pada salah satu kelompok.
Kelompok apa pun, terutama politik.

Anda punya hobi olahraga berburu. Apa ada kaitan semangat
kewartawanan dengan berburu?
Berburu apa dolo, nona-nona kah apa ... ha ... ha...
Ya, memang sesuatu itu bermakna dalam kehidupan. Berburu,
ketemu sasaran, kadang-kadang lupa waktu. Nanti sadar, eh.. su
gelap. Tapi saya berhenti sejak Pak Jusuf (Jendral TNI Purn Muhammad
Jusuf) pindah ke Jakarta. Juga mata saya sudah mulai payah. Tapi
saya masih suka ke kebun.

Andaikan ada reinkarnasi, mau jadi apa?
Tetap jadi wartawan. Ah, kau ini. Ha...ha...ha...
***
Pewawancara:

Andi Suruji
Fahmy Myala


KOMPAS - Minggu, 05 Feb 1995 Halaman: 2

Peter Spillett

Yakin Orang Makassar Penemu Australia

Oleh: Andi Suruji

SEJARAH mengajarkan, orang pertama yang berkunjung ke benua Australia adalah Abel Tasmen (Belanda) tahun 1642. Atau James Cook yang berkebangsaan Inggris. Tapi seorang ahli sejarah Australia sendiri, Peter Spillett AM (68) yang memusatkan perhatiannya pada Australia Utara (Aborigin) menyangsikan itu. Dari hasil penelitiannya selama ini - belum tuntas - ia lebih meyakini kalau orang asing pertama yang mendarat di Australia adalah orang Makassar.

"Dari penelitian saya, pasti seorang yang asal dari Makassar, karena mereka ada ketrampilan berlayar dan ada perahu yang cukup baik untuk berlayar jauh. Meski orang Timor dan Flores lebih dekat dengan Australia Utara, tetapi mereka tidak memiliki teknologi membuat perahu yang cukup baik untuk berlayar jauh," katanya kepada Kompas di Northern Territory Museum of Arts and Sciences, Darwin, Australia Utara.

Ia menegaskan, bangsa Portugis juga sangat kecil kemungkinannya disebut sebagai penemu benua Australia. Orang-orang Portugis memang berlayar dari Malaka sampai Pulau Solor sekitar tahun 1640. Tapi dalam pelayaran itu, mereka singgah dulu di Makassar. Di sini mereka mengambil pilot untuk menunjukkan rute. "Bagaimana mereka bisa berlayar kalau tidak ada orang yang tahu rute. Bagaimana mereka bisa tahu ada benua di bawah (Australia di bagian selatan Nusantara -- red) jika tidak ada orang yang kasih tahu. Dan pilot itu pasti orang Makassar yang sudah sudah tahu rute ke Australia Utara," katanya.

Puluhan, bahkan mungkin ratusan buku sejarah yang telah digeledahnya di pelbagai perpustakaan, tak selembar pun merinci lebih detail hubungan orang-orang Makassar di Sulawesi Selatan (Indonesia) dengan Marege di Australia Utara. Dalam naskah-naskah kuno yang ditemukan Spillett di Belanda dan Inggris, dua negara yang dikenal memiliki informasi sejarah yang lengkap, hanya ada informasi mengenai benteng Inggris di utara sini, dekat Darwin. Laporan dari benteng itu yang sampai ke Inggris, hanya menyatakan bahwa ada beberapa orang Makassar mendarat di sini mencari hasil laut.

"Dulu ahli antropolog bilang, mukanya mirip orang dari Sulawesi atau Melayu. Ada juga cerita orang Aborigin bahwa mereka keturunan Makassar. Karena itu saya ke Makassar cari data," katanya.

***

DARI sinilah petualangan Peter Spillett menggeledah pertalian Makassar-Marege dimulai secara total. Ia menggali lebih dalam sejarah lisan dari sejumlah orang yang memungkinkan memperkuat hipotesisnya. Ia tidak bisa menghitung berapa kali ia bolak-balik Makassar-Darwin dan Marege. Di Jalan Maipa di Ujungpandang (Peter Spillett lebih suka menyebut Makassar karena katanya lebih romantis) terdapat sebuah rumah yang menggunakan kayu besi. Kayu itu dibawa Daeng Remba dari Marege. Daeng Remba ini bapak dari Manggrai Daeng Maro yang pernah berlayar dari Makassar ke Marege lebih 20 kali sekitar tahun 1880-an. Dia mengawini orang Aborigin dan punya keturunan.

Dari penggaliannya, ia menemukan bahwa orang Makassar itu saudagar, suka berlayar jauh dan memiliki teknologi membuat perahu yang bisa berlayar jauh. "Orang Makassar itu, apa yang bisa dijual mereka cari. Dulu mereka cari kayu, mutiara, tetapi umumnya mencari hasil laut," ucapnya.

Tapi pencarian Spillett tidak berjalan mulus. Ia sudah menemukan bahwa orang Makasar menggunakan perahu sampai ke Marege, tapi perahu jenis apa yang digunakan, memerlukan penelitian lagi. Dari cerita demi cerita yang dikumpulkannya serta gambar-gambar primitif yang dilihatnya, ia berkesimpulan bahwa perahu itu adalah jenis padewakang. Perahu ini digunakan orang Makassar sekitar tahun 1600-an.

"Saya kira padewakang berlayar sebelum abad ke-17. Pinisi yang sangat terkenal, perahu generasi jauh di belakang," katanya. Ia meyakini, jika perahu jenis padewakang itulah yang digunakan orang-orang Makasar berlayar jauh mencari hasil laut seperti teripang dan sampai ke Australia Utara.

Kesulitan selanjutnya, ialah merekonstruksi perahu yang sudah punah itu. Dari cerita ke cerita yang dituturkan orang-orang tua pelaut, gambar-gambar primitif dan diperkuat keahlian orang-orang Tanaberu, Bulukumba (Sulsel) membuat perahu, akhirnya perahu jenis padewakang itu dapat juga direkonstruksi. Berlayarlah Spillett menapak tilas perlayaran tradisional orang-orang Makassar dengan perahu purba yang dinamakannya "Hati Marege" itu bersama 12 awak pilihan. "Hati Marege" yang tak menggunakan sepotong pun bahan logam itu, akhirnya sampai di Marege tahun 1988. Sekarang, "Hati Marege" sudah dimuseumkan di Darwin.

Di kalangan orang-orang Marege, ia menjumpai bahasa, acara, sejarah, tarian dan lagu mengenai Makassar. Mungkin ada sekitar 500 kata yang digunakan sama dengan Bahasa Makassar. "Ada beberapa kata kuno, seperti kata kotor. Orang Marege itu tahu nama-nama bagian perahu, seperti sombala tanja. Mereka tahu dan memberi nama bagian perahunya dengan bahasa Makassar. Mereka tahu balerang, balengo, colo dan kaluru," tuturnya.

Karena itu, katanya harus ada sejarawan Makassar yang mengetahui persis bahasa Makassar kuno yang mengadakan penelitian mendalam agar dapat memastikan kapan kapan persisnya bahasa itu digunakan. Dari situ bisa dipastikan kapan orang Makassar tiba di Marege.
***

PETUALANGAN sejarah Spillett tidak berhenti sebatas merekonstruksi perahu dan pelayaran purba orang Makassar sampai Marege. Ia kini sedang menggali sejarah lisan mengenai orang-orang Makassar di Flores dan Timor. Sebab sangat diyakini, orang Makassar terlebih dahulu singgah di Flores dan Timor sebelum menyeberang ke Australia Utara.

"Saya belum puas. Waktu pertama orang Makassar mendarat di Autralia saya masih cari. Karena itu sudah tua, sudah lama, maka saya harus pakai sejarah lisan. Saya mendapat cerita mengenai orang Makassar dulu, bukan pencari hasil laut saja, tetapi juga pedagang, saudagar. Mereka membawa mesiu, senjata dan membawa kembali kayu cendana, lilin, madu," tuturnya.

Apakah hubungan dan perjalanan orang Makasar ke Marege itu dalam konteks ekspansi kekuasaaan atau betul-betul berdagang saja? "Saya kira itu istimewa cari hasil laut saja, karena tidak ada sistem barter waktu itu, orang Marege tidak tahu sistem barter. Orang Marege biasa bantu orang Makassar mencari hasil laut. Lalu orang Makassar memberi teknologi, bagaimana membikin perahu, membuat layar. Itu proses alih teknologi," katanya.

Menurut sejarawan dulu, kata Peter Spillett, mereka bilang, "Ya itu sebagian dari ekspansi, begitu. Tapi saya belum dapat bukti. Orang Makassar dulu membawa pohon lontar dan asam. Mereka tanam di sini. Lontar itu lambang Makassar. Kalau orang tanam pohon lontar biasa dipikir itu bagian dari wilayahnya. Karena banyak orang begitu, ada kemungkinan raja Gowa bilang kekuasaanya sampai di Marege," duga Spillett.

Dalam sejarah lisan orang Flores dan Timor, kata Spillett, dikatakan orang Makassar mendarat di Timor dan Flores jauh sebelum orang Portugis masuk. Karaeng Tallo mendarat di Timor tahun 1641. "Nah, dari sana ke Australia Utara tidak jauh. Empat hari saja berlayar dari Pulau Kisa ke Darwin," katanya.

***

MENGAPA Peter Spillett begitu gigih mengungkap sejarah purba ini? "Saya sejarawan. Sudah tahu tentang orang utara? Indonesia dan Australia sama-sama saya cintai," katanya. Ia sangat lancar berbahasa Indonesia. Tidak sedikit pula bahasa Makassar yang suka digunakannya bila bercakap dengan orang Makassar. Logat Makassar sering "nyelonong" dalam tutur katanya. Karena kecintaannya itulah, orang-orang Makassar yang memiliki pertalian darah dengan Marege, memberinya gelar Daeng Makkulle yang bisa diartikan sebagai "orang yang kuat dan bisa melakukan sesuatu". Makanya, banyak orang menyapanya dengan Bapa Daeng.

Dalam kartu namanya yang terdapat foto dirinya itu, mantan Kepala Bidang Kebudayaan dan Sejarah Kementerian Kebudayaan Northern Territory ini mencantumkan empat alamat sekaligus. Selain alamat rumahnya di Darwin, juga ada alamat NT Museum of Arts & Sciences. Sedangkan di Indonesia ia mencantumkan alamatnya di Ujungpandang dan Kupang.

Itu tidak lain untuk memudahkan hubungannya dengan kolega-koleganya. Sebab sebentar berada di Darwin, ia kemudian berada lagi di Ujungpandang, Kupang dan Dili. Semuanya dilakukan dengan biaya sendiri. Ia memang pernah mendapat biaya makan dan transpor dari pemerintah Australia dalam penelitian itu, tapi sejak pensiun 10 tahun silam ia terus melanjutkan penelitiannya tanpa biaya pemerintah. "Saya sudah pensiun. Saya punya waktu menggali dan membiayai sendiri penelitian ini," katanya.

Obsesinya, menuntaskan penelitian yang sudah sekitar 200 halaman itu. Kalau rampung kemungkinan membengkak menjadi 300 halaman dan sudah ada penerbit yang mengincar untuk diterbitkan menjadi sebuah buku, melengkapi 20 buku yang telah ditulisnya.

Ayah dua anak dari istrinya Mureul yang guru SMP di Darwin ini juga punya rasa humor. "Mau kirim kartu ucapan ulang tahun?" katanya sambil terkekeh ketika ditanya tanggal kelahirannya. Ia lahir 20 Januari 1926 di London dan sudah tinggal 45 tahun di Australia. "Saya ini transmigran juga, he...he..." (Andi Suruji)
KOMPAS - Sabtu, 16 Jul 1994 Halaman: 20

Prof Dr Mattulada

Nyaris Jadi Korban Westerling
SEANDAINYA Kepala Polisi Sulawesi Selatan La Tippa tidak kebetulan berkunjung ke penjara Bulukumba, barangkali kita tak kenal lagi Mattulada -- seorang pemikir dari Ujungpandang. Dan seandainya "kebetulan" tadi tak terjadi, mungkin nama Mattuladadan ikut tercatat dalam daftar panjang 40.000 pejuang Sulsel yangmenjadi korban pembantaian Westerling -- tentara bayaran Belanda yang bengis itu.
"Nasib saya memang sedang 'baik' waktu itu," tutur Prof Dr Mattulada (65) akhir pekan lalu di kediamannya, Kampus Baru Universitas Hasanuddin, Ujungpandang. Berhari-hari sebelum La Tippa datang, tutur mantan Rektor Universitas Tadulako (1981 1990) dan Ketua Senat Guru Besar Unhas ini, satu persatu pejuang Indonesia "dijemput" oleh tentara NICA dan tidak kembali lagi.
"Saya resah menunggu giliran dihabisi Westerling. Saya hanya bisa berdoa," kenang Mattulada. Untunglah tanggal 7 Januari 1947, datang La Tippa, yang dikenal baik Mattulada. Ia dibebaskan dan dibawa ke Makassar. Hanya, dasar pejuang, begitu bebas, Mattulada -- lepasan SMP Nasional, sekolah yang banyak menelorkan pejuang termasuk Robert Wolter Monginsidi-- memanggul senjata lagi melawan Belanda. Rekannya se- SMP Nasional, Wolter Monginsidi, dihukum mati Belanda dalam proses peradilan cepat.
Mengurut kembali sejarah, Mattulada mengatakan, siapapun yang menjadi pejuang waktu itu pasti ridho merelakan nyawanya bagi Ibu Pertiwi. Ia mengakui, yang memompa semangatnya dan memberi inspirasi sikap kejuangan banyak orang tak pelak lagi adalah Bung Karno, dengan pidatonya yang berapi-api di lapangan Hasanuddin tahun 1944. Pemimpin besar itu kala itu berkeliling Indonesia, dan selalu menyemangati para pejuang agar pantang menyerah dan menggantungkan cita-cita setinggi langit.
* * *
SEMANGAT, inovatif dan jiwa kejuangan ditopang kecerdasan, merupakan ciri khas Mattulada. Sesudah gemuruh perjuangan melawan Belanda reda, ia bersekolah lagi sambil aktif di dinas sekuriti (PAM) Kepolisian RI. Tahun 1956 setelah memperoleh akte B1 ilmu hukum ia menjadi guru SMA.
Tahu bahwa Mattulada berlatar belakang sebagai tentara pelajar dan TNI, maka kepala sekolah waktu itu, Pangkerego, menugaskan Mattulada "mengamankan" anak-anak sekolah menaruh pistol di meja belajarnya atau mengamang-amangkan senjata selagi guru sedang mengajar. Mattulada sukses mengstabilkan sekolah. Ia pun dipercaya menjadi kepala sekolah pertama SMA III selama lima tahun, 1956-1961, lalu kepala SMA Negeri 1 1961-1966.
Sambil sibuk membenahi SMA III, ia juga ikut memperjuangkan berdirinya Universitas Hasanuddin. Dialah yang termasuk dibawa Oom No (Arnold Mononutu) menghadap Presiden RI mendesakkan berdirinya sebuah PTN di Makassar. Namun karena waktu itu Bung Karno sedang ke Sumatera, maka ia hanya bisa bertemu Mohammad Hatta (Wakil Presiden waktu itu). Hatta pun mengatakan pemerintah telah memikirkan mendirikan sebuah PTN di Makassar, ia menuturkan kepada Gubernur Sulsel (waktu itu) Andi Pangerang Petta Rani bahwa Hatta telah menyalakan lampu hijau.
Maka di awal tahun 1956 (Mattulada lupa persis waktunya), tatkala Mendikbud (waktu itu) Bahder Djohan berkunjung ke Makassar, Mattulada dan kawan-kawannya melakukan aksi. Mobil "dem-dem"an yang ditumpangi Bahder dan beberapa tokoh pendidikan Sulsel, "dihentikan" Mattulada dan kawan-kawan di Tamalanrea (kini menjadi kampus baru Unhas). "Supaya mobil itu berhenti, kami bergerombol sambil melambai-lambaikan tangan di jalan sempit itu, sehingga mobil Bahder berhenti," tutur Mattulada sambil tertawa geli.
Bahder Djohan yang tahu Sulsel masih dirusuhi gerombolan --mengira ada sesuatu yang luar biasa terjadi. Tapi, yang muncul adalah Mattulada dan kawan-kawannya, dan keperluannya, "hanya" mendesak Mendikbud agar menyetujui pendirian Unhas. Bahder tak bisa lain kecuali mengangguk-angguk setuju dan meminta para pemuda bersabar sebab pemerintah pasti membuka PTN baru di Makassar.
Tak puas hanya ucapan lisan, Mattulada dan kawan-kawan menyodorkan kertas putih sambil meminta Bahder Djohan membuat surat tanda persetujuan pendirian universitas baru dan menandatanganinya. Setelah semua ini dilakukan, barulah Mattulada dan kawan-kawannya "melepas" Bahder dan rombongannya masuk kota Makassar.
Beberapa waktu kemudian, datang Presiden Soekarno ke Makassar. Di Gubernuran Bung Karno dalam pengumuman selama 10 menit langsung menyatakan pendirian PTN itu, dan menamainya Universitas Hasanuddin. Beberapa bulan kemudian Mohammad Hatta datang meresmikannya.
Pada tahun 1959, Mattulada dan teman-teman merintis pendirianFakultas Sastra di Unhas. Ketika fakultas itu jadi dibuka, dialah mahasiswa pertamanya, dan lulus 1964. Dua tahun kemudian ia menjabat Dekan Fakultas Sastra 1966-1970. Ketika terjadi G-30s-PKI, Mattulada membentuk dua kompi pasukan semacam resimen pelajar serba guna SMA Negeri 1 yang ia pimpin tampil sebagai salah satu pelopor pengganyangan komunis di situ.
Seorang rekannya, Haji Muhammad Fahmy Daeng Myala menuturkan, semasa menjabat Dekan Fakultas Sastra, talenta Mattulada sebagai antropolog mulai tampak. Bakat antropolog tadi, katanya, lebih terasah tatkala Mattulada tugas belajar di Rijks Universiteit Leiden 1970-1972.
Ucapan Myala tampaknya tidak berlebihan. Disertasi Mattulada untuk meraih doktor di Universitas Indonesia (1975): Latoa, Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, disebut- sebut sebagai salah satu karya besar yang dihasilkan putra Sulsel setelah kemerdekaan. Karya-karya ilmiah Mattulada yang lain, di antaranya, The Spread of the Buginese in Southeast Asia (1973), Kebudayaan Bugis-Makassar, dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (editor Koentjaraningrat -- 1977), Pedang dan Sempoa (Sejarah Kebudayaan dan Perasaan Kepribadian orang Jepang -- 1981), Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah (1990), To-Kaili, Manusia dan Kebudayaan di Sulawesi Tengah (1991), Human Ecology (1993).
* * *
DI tengah keasyikannya mengajar dan melakukan penelitian, Mattulada juga mengembangkan minatnya yang lain, kesenian. Bagi dia antropolgi berkaitan sangat erat dengan prilaku manusia, bertaut lekat dengan kesenian yang sangat mengedepankan sisi humanistis, nurani dan kata hati.
Dialah, yang kemudian dikenal sebagai salah satu budayawan yang pernah mengangkat pamor Dewan Kesenian Makassar (DKM). Pada masa dia menjadi Ketua DKM itulah, di Makassar muncul nama-nama seperti Rahman Arge (kini anggora DPR-RI), Aspar Paturusi, Husni Djamaluddin (kini anggota DPRD Sulsel), Arsal Alhabsyi, Drs Ishak Ngeljaratan MS, dan DR Sutiono Sinansari ecip (kini Redpel Harian Republika), Andi Rio Daeng Riolo (alm).
Mattulada menampik anggapan bahwa di masanyalah DKM mencapai "masa keemasan" -- dalam melahirkan karya. Bagi dia, tampilnya angkatan Arge dan kawan-kawan erat kaitannya dengan masa perjuangan waktu itu, 60-an hingga awal 70-an. Era itu, karya sastra dan kesenian tumbuh subur karena situasi, dan para pejabat di Sulsel sangat mendukung.
"Waktu itu, Gubernur Sulsel adalah Achmad Lamo, Sekwildanya Andi Patarai, dan Walikota Makassar Patompo. Mereka semua kawan dekat yang saya kenal baik di masa perjuangan dulu," kata Mattulada.
* * *
PUNCAK karir Mattulada sebagai pengajar terjadi tatkala ia ditunjuk Mendikbud (waktu itu) Dr Daoed Yoesoef untuk menjadi Rektor Universitas Tadulako.
Prosesnya sederhana saja. Sepulang dari tugas sebagai Guru Besar Tamu pada Kyoto University, Jepang, 1979-1980, ia bersua Prof Dr Achmad Amiruddin Pabittei (Rektor Unhas 1973-1982, kini Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI). Prof Amir memberitahu Mattulada bahwa Mendikbud Daoed Yoesoef ingin bertemu dia. Daoed tampaknya mempercayakan Mattulada sebagai Rektor Tadulako, Palu.
Mattulada sebenarnya agak terkejut. Ia baru saja beberapa pekan pulang dari Jepang, dan baru berkumpul dengan keluarga. Maka ia utarakan kepada Prof Amir bahwa ia membutuhkan konsultasi dengan keluarga, di samping ia menegaskan bahwa ia tidak suka main-main dan senang pada sikap tegas dan "lurus", tidak "belok-belok". Prof Amir, menurut Mattulada menjamin hal tersebut.
Ia pun dilantik sebagai rektor pertama Universitas Tadulako di Palu, tanggal 18 Agustus 1981. Dua kali dipercayakan menjabat rektor hingga 1990, Mattulada kembali ke kampung halaman. Di Unhas ia dipercayakan menjabat Ketua Senat Guru Besar Unhas, 1990 hingga pensiun baru-baru ini. Tetapi meski sudah pensiun, ia tetap diminta Rektor Unhas Prof Dr Basri Hasanuddin MA menjadi pengajar di program Pasca Sarjana Unhas.
Di masa pensiun ini, Mattulada --yang artinya Penyambung Adat -- lebih banyak di rumah, membaca buku, menulis sambil ditemani istrinya, A Ressang. Putri tunggalnya, Drg Indria Kirana, telah menikah. Kecuali menjalankan ibadah puasa pada bulan Ramadhan, Mattulada rajin puasa Senin dan Kamis.
(Andi Suruji/Abun Sanda).
KOMPAS - Jumat, 18 Feb 1994 Halaman: 20

Prof Mr Teng Tjing Leng

Pengacara yang Pernah Membela Monginsidi
PENGACARA tua tak pernah "mati", hanya mundur perlahan. Ungkapan ini terasa pas untuk Prof Mr Teng Tjing Leng. Memulai sebagai pengacara pada usia 33 tahun, hingga kini ia masih membuka praktek sebagai pengacara dan corporate lawyer di Ujungpandang, meski usianya telah menginjak 87 tahun.
Ada kesan tersendiri manakala berbicara panjang dengannya. Meski geraknya mulai lamban, ia masih tampak sehat, tawanya masih kencang berderai. Ingatannya masih setajam suaranya. Ia hafal di luar kepala bagaimana urut-urutan peristiwa revolusi tahun 1945. Fisiknya pun tahan diajak diskusi berjam-jam.
"Saban hari saya masih yoga sejam, ditambah senam sejam," ucap Prof Teng menyampaikan resepnya masih bugar. "Jika diajak yoga dengan kalian wartawan muda, saya masih berani nantang," ia berseloroh sambil terbahak.
* * *
PROF Teng tatkala muda dan studi di Leiden Belanda, ikut aktif menyuarakan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ia sempat dekat dengan Prof Mr Soepomo, Mr AA Maramis, dan Prof Mr Thoeng Thian Pit).
Ketika kembali ke Indonesia, ia ikut aktif membela negeri ini, disamping mulai membuka law firm di Lampung selama beberapa tahun, sebelum kemudian hijrah ke Makassar. Selama di Makassar inilah, namanya mulai berkibar. Ia ikut dalam Konferensi Malino, Sulsel Juli 1946, Konferensi Denpasar, Desember 1946, Konferensi Pangkalpinang, Riau, 1947 dan puncaknya Konferensi Meja Bundar 23 Agustus sampai 2 September 1949 di Denhaag. Dari pelbagai konferensi ini, KMB paling berkesan bagi lelaki kelahiran Menado 13 Juli 1906 ini. Dalam KMB itu, ia melihat bagaimana para pemimpin Indonesia duduk semeja dengan pihak Belanda dan berunding dengan tegar.
Teng mereguk banyak pengalaman dari pelbagai konferensi yang membahas masa depan republik ini, pada masa itu. Ia menimba pengalaman bagaimana alotnya, bagaimana masing-masing pihak bersikukuh mempertahankan kepentingannya. "Akhirnya memang Belanda harus mengakui, de facto dan de jure terhadap Indonesia," tutur Teng.
Namanya sebagai pembela kaum republiken menanjak tatkala menangani perkara Robert "Bote" Wolter Monginsidi (1925-1949). Kendati kemudian Wolter tetap dihukum mati setelah permohonan grasinya ditolak, ia merasa puas sempat membela pejuang gagah berani itu. Wolter, tutur Prof Teng, adalah pejuang yang lengkap. Ia tidak bisa diajak kompromi oleh Belanda, konsisten menuntut Belanda angkat kaki sepenuhnya dari bumi Indonesia.
Awalnya, lanjut Teng, di tingkat pengadilan negeri Wolter dijatuhi hukuman mati oleh majelis hakim Belanda. Dalam peradilan yang dirasanya tidak adil itu, Wolter menolak didampingi pembela. Ayah Wolter, Monginsidi, berusaha membujuk Wolter untuk didampingi pembela. Monginsidi percaya, upaya untuk lolos dari lubang jarum masih ada, meski hampir muskil.
Awalnya, Wolter --anak muda kelahiran Malalayang, Manado 14 Pebruari 1925-- menolak keras untuk memohon grasi (pengampunan) kepada Belanda. Memohon pengampunan pada Belanda sama dengan mengesahkan kehadiran Belanda dengan segala sepak terjangnya, sama dengan mengakui semua perbuatannya melawan Belanda, sebagai tindak pidana yang pantas dihukum. Wolter konsisten pada perjuangannya. Ia teguh pada keyakinannya. Tapi tatkala dibujuk-bujuk ayahnya, antara lain dengan menyebutkan ibunya saban hari menangis, Wolter akhirnya luluh, dan menyerah.
Teng bergerak cepat, dan mengirim permohonan grasi kepada Belanda. Tetapi seperti diketahui, grasi itu ditolak Belanda. Wolter pun dieksekusi di depan regu tembak, di Pacinang, Makassar, 5 September 1949. Ia dibaringkan dengan Alkitab sebagai alas kepalanya. Tanggal 10 November 1950 jenasahnya dipindahkan dari Pampang, pinggiran Makassar ke Taman Makam Pahlawan, Panaikang, Makassar.
"Saya sedih sekali, tetapi tak dapat berbuat apa-apa, guna menyelamatkan pejuang heroik itu," tutur Prof Teng. Ketika putusan penolakan grasi itu dijatuhkan, Teng tengah berada di Belanda -- karena mengikuti KMB. "Kala itu, Arnold Mononutu menemui saya di hotel dan mengabarkan, grasi Wolter ditolak. Kami sangat sedih," katanya.
***
TATKALA gemuruh revolusi lewat, awal 50-an, Teng mulai berkonsentrasi pada kantor pengacaranya. Dengan cepat namanya melambung. Ia tampil sebagai pengacara terpandang di Indonesia Timur. Teng juga termasuk pelopor bidang corporate lawyer di kawasan tersebut. Tetapi rupanya, ia tidak pernah bisa sepenuhnya menjadi lawyer. Tatkala Universitas Hasanuddin didirikan, ia diminta menjadi salah seorang pengajarnya. Bahkan tahun 1958, meski masih tidak sepenuhnya mau aktif di Unhas, ia sudah diangkat sebagai guru besar hukum perdata universitas tersebut. Teng tercatat sebagai guru besar hukum perdata pertama di Indonesia Timur. Tahun 1959, Arnold Mononutu, pejuang yang diminta Ir Soekarno menjadi Rektor Unhas, meminta dia aktif sepenuhnya di Unhas, sekaligus menjadi Sekretaris Senat Universitas. "Jika Anda menolak, saya juga menolak jadi Rektor Unhas," kata Mononutu dalam suratnya sebagaimana dituturkan oleh Teng. "Saya akhirnya bersedia. Pertimbangan saya, Arnold salah seorang yang sangat dekat dengan Bung Karno. Arnold Mononutu tinggal bikin memo butuh ini-itu, dan segera Bung Karno kabulkan," katanya. Artinya, kalau Unhas butuh fasilitas ini-itu untuk mengembangkan PTN tersebut, tentu tak sulit dibawah Mononutu. Meski begitu, toh Teng tetap menolak menjadi pegawai negeri. Ia menolak terikat sebagai pegawai negeri. Jadilah Teng menjadi sekretaris senat dengan honor Rp 680 sebulan. Jumlah ini tentu sangat kecil bagi dia, yang kala itu sudah jauh kecukupan sebagai pengacara. Honor dari universitas ia berikan kepada sopirnya. Masa itu, tatkala jalan-jalan di kota Makassar masih disesaki oleh sepeda, bendi, dan tallu roda (becak-Red), Teng sudah hilir mudik di Makassar dengan mobil sedan. Dalam beberapa tahun Unhas melahirkan lima fakultas. Sebelumnya, sudah lahir beberapa fakultas, yakni Fakultas Ekonomi, hukum, kedokteran dan teknik. Namun karena anggaran belanja sangat tipis, Unhas akhirnya main "serabutan" untuk mendapatkan ruang kuliah. Banyaknya fakultas ini pula, memunculkan muncul persoalan baru, yakni masalah dosen dan honor untuk dosen. Arnold Mononutu nekad memerintahkan Teng mencari dosen terbang. Soal dana bisa ditanggulangi, karena itu tadi, Mononutu (meski mulai risih) bisa mengirim Bung Karno "nota" agar disuplai dana. Di tengah kesibukannya sebagai pengacara dan guru besar hukum perdata di Unhas, Teng, tahun 1965 bersama rekan-rekannya mendirikan Universitas Katolik Atmajaya di Ujungpandang, akhir September 1965. "Waktu itu, kami tak tahu ada kejadian besar di Jakarta, G 30 S/PKI. Kami baru tahu itu dari koran dan kemudian radio. Tapi, toh Atma Jaya sudah kami dirikan. Apalagi tak lama kemudian, Cosmas Batubara ke Ujungpandang dan memberi kami semangat agar tidak cemas," katanya. Selain Cosmas, datang pula Frans Seda, memompa semangat. Tetapi tatkala menginjak usia delapan tahun, 1973, Atma Jaya Ujungpandang, malah tutup. Tahun 1980, Atma Jaya buka lagi. Prof Teng terpilih sebagai rektor hingga 1986, tatkala usianya menginjak 80 tahun. "Sudah cukuplah, beri kesempatan yang lebih muda," kata Teng. * * * KECUALI aktif sebagai pengacara, Prof Teng tetap giat dalam kegiatan agama. Lelaki yang termasuk pemuka agama Katolik di Indonesia Timur ini. Teng yang dipermandikan tahun 1920 itu beberapa tahun lalu ia dianugerahi Ordo Sancti Gregory Magni of Pope dari Sri Paus. Bagi keluarga Teng, penghargaan Sri Paus sama dengan pengukuhan peran dia bagi pengembangan gereja di Indonesia Timur.
Selain masalah gereja, Prof Teng masih kuat diajak diskusi tentang masalah hukum, khususnya hukum perdata dan pidana. Buku-bukunya bertebaran, berjumlah sekitar 20 ribuan. Buku hukum tahun 1880-an hingga 1993, misalnya, dalam beberapa bahasa, diletakkan rapi dalam rak-rak mejanya.
Dari tiga anaknya, hanya bungsunya yang mengambil pendidikan hukum. Anak pertama sarjana Inggris, wakil manajer sebuah hotel di Balikpapan. Anak kedua, dokter, kini menetap di Los Angeles, AS. Dari tiga anak itu, Teng memperoleh empat orang cucu. "Jadi hanya anak bungsu saya saja yang bisa mewarisi seluruh buku hukum saya," katanya.
(Andi Suruji/Abun Sanda)
KOMPAS - Senin, 20 Dec 1993 Halaman: 20

Jenderal TNI (Purn) M Jusuf

Membangun Rumah Sakit Bukan Untuk Kaya
Oleh: Andi Suruji
GENDANG tradisional Bugis-Makassar bertalu-talu dipukulMenteri Kesehatan, Sujudi, sekitar pukul 10.00 Wita, Sabtu (13/11).Tepuk tangan hadirin bergemuruh panjang. Jenderal TNI (Purn)Muhammad Jusuf bersama istrinya, Elly Jusuf, menebar senyum. Itulah peristiwa kecil yang menandai peresmian selesainyarenovasi Rumah Sakit Akademis (RSA) Jaury Ujungpandang, milikYayasan RSA Jaury yang diketuai mantan Ketua Bepeka, M Jusuf. Kendati renovasi dilakukan besar-besaran dan menelan dana tidak kecil, acara itu tetap sederhana -- sesederhana orang yang punya hajat.
Tidak ada tumpukan kembang kiriman ucapan selamat. Acara jugahanya digelar di sebuah ruang yang tidak terlalu besar, namunbersuasana lapang. Di situ, hadir Menteri Negara PerencanaanNasional/Ketua Bappenas Ginandjar Kartasasmita dan Men-PAN T.BSilalahi. "Mereka datang bukan sebagai menteri, tetapi saya undangsebagai pribadi, adik saya," ujar M Jusuf.
***
KETIKA menyampaikan ucapan terima kasihnya, Jusuf menguraikankembali riwayat singkat rumah sakit yang dibangun semasa ia menjabatPanglima Kodam XIV Hasanuddin. "Rumah sakit ini dibangun tahun 1962 dari uang simpanan sebesarRp 250.000. Uang simpanan itu sejak saya berpangkat kapten," ujarnyadalam logat Bugis yang khas. Ia menguraikan tiga misi pembangunan RS itu sejak awal.Pertama, sebagai memorial hospital untuk mengenang putra tunggalnya,Muhammad Jaury Taufiek Jusuf Putra (9 Desember 1954 - 31 Oktober1960). Kedua, sebagai rumah sakit akademis bagi mahasiswa kedokteranUniversitas Hasanuddin (teaching hospital). Ketiga, tempatpertolongan bagi masyarakat yang memerlukannya, tanpa memandanggolongan, keturunan, pangkat atau kemampuan membayar.
Sebagai anak tunggal, tentulah Jaury menjadi kesayangankeluarga. "Sudah takdir Tuhan, anak itu harus meninggal. Begitusehat, tidak pernah sakit," kenangnya. Dipaparkan, kematian Jauryyang tragis akibat buruknya kondisi pelayanan kesehatan waktu itu.
Tetapi sebagai memorial hospital, bukan sekadar mengenangkepergian Jaury. Lebih dari itu, suatu memorial atas upaya"memerangi" kondisi buruk pelayanan kesehatan masyarakat. Untuk saatitu dan jauh ke masa depan. Sebab ternyata -- ketika itu -- serumyang disuntikkan ke dalam tubuh Jaury, adalah serum yang sudahexpired, kedaluwarsa, sejak satu tahun.
"Ini suatu pelajaran. Sehingga saya putuskan, kita harus bangunrumah sakit di mana semua manusia bisa mendapat perawatan yangbaik," ujar Jusuf mengenang.
Tahun 1962 itu juga, mahasiswa Fakultas Kedokteran UniversitasHasanuddin Ujungpandang masih kesulitan tempat praktek. Mereka haruske Surabaya dan Jakarta, yang berarti butuh biaya besar. Mereka ini,kata Jusuf sambil menunjuk ke sejumlah dokter yang hadir, tahunyaribut-ribut saja di universitas, tapi kantungnya kosong. Jadi selainmemorial hospital, juga sebagai tempat praktek bagi mahasiswa Unhas(teaching hospital - rumah sakit akademis).
"Inilah niat saya membangun rumah sakit ini. Tak pernah adaniat supaya nanti kita jadi kaya," katanya menegaskan.
***
DALAM usia 31 tahun, RSA Jaury yang peletakan batu pertamanyadilakukan sendiri oleh M Jusuf, 10 Juli 1962, ketiga misi yangdicanangkan semula tak pernah bergeser. Sebagai RS Akademis, sampaitahun 1993 ini sudah mencatat 1.800 orang dokter lulus berkatkehadirannya. Banyak di antara mereka kembali mengabdi di sana.Secara de facto, RSA Jaury adalah rumah sakit akademis satu-satunyabagi FK Unhas. Tetapi sejak awal Jusuf bertekad tidak akan memintabantuan dari pemerintah.
Sebagai tempat untuk memberi pertolongan bagi masyarakat yangmemerlukannya, RSA Jaury telah menolong ribuan orang yang sakitnamun tidak mampu berobat di rumah sakit swasta lainnya. Atau,mereka yang tidak memperoleh tempat perawatan di rumah sakitpemerintah. Banyak pasien datang dari wilayah pedalaman mendapatpengobatan yang maksimal di sini, tanpa harus membayar uang mukaperawatan. Tidak ada istilah pasien ditolak karena tidak punyabiaya. Jusuf merinci, rata-rata 42 persen dari total pasien yangdirawat, tidak mampu membayar pengobatannya.
Mungkin ini suatu hal yang mustahil -- terutama rumah sakitswasta yang berorientasi bisnis -- untuk menghidupi diri. Tetapiresep dari manajemen adalah back to basic mission. Kembali pada misisemula yaitu memprioritaskan pemberian pertolongan tanpamempertimbangkan biaya yang harus ditanggung. Tekad tanpa pamrihJusuf itu, diikuti pula para dokter dan paramedis yang mula-mulabekerja di situ. Tiga puluh tahun sesudah peletakan batu pertama,Prof Dr Ma'roef yang juga turut membidani kelahiran rumah sakit ini,menceritakan betapa para dokter dan paramedis itu bekerja tanpamenuntut honor atau gaji yang memadai.
Bukan berarti manajemen RSA tidak ditata baik. Denganpengaturan yang ketat disertai semangat pengabdian tanpa pamrih, RSAJaury sudah dikategorikan RS swasta self-sustain sejak tahun 1970.Bisa beroperasi dari pendapatannya sendiri. Sejak dioperasikan pertama kali tahun 1963, secara parsialmemang selalu ditambah peralatannya. Namun itu tidak dapat mengikutilaju kebutuhan masyarakat. Calon-calon dokter dari FK Unhas yangberpraktek di sana pun kian banyak. Karenanya, Jusuf memancangkan renovasi besar-besaran tahun1991. Hampir semua gedung dan bangunan di atas lahan tiga hektar itudiruntuhkan secara bertahap kemudian dibangun kembali sesuai syaratsebuah RS yang baik.
Sejak awal prinsipnya, RSA Jaury "tabu"membangun secara vertikal. Ini memungkinkan karena lahan di pusatkota yang dapat dijangkau dengan mudah oleh masyarakat dari seluruhpenjuru kota itu, masih cukup luas. Juga karena pertimbangan faktor lingkungan yang nyaman. Ruangrawat inap yang dikelilingi lingkungan nan hijau, jauh lebihmanusiawi dibandingkan dinding-dinding beton dari bangunanmultitingkat.
Menurut Ketua Yayasan, lingkungan yang hijau danteduh, merupakan bagian dari proses terapi juga. Itu pula sebabnyaruang-ruang rawat inap diberi nama-nama bunga. Sekaligus menghindarkan kesan perbedaan kelas bagi pasien. Sebanyak 198 tempat tidur yang dimilikinya, hanya tersedia 24tempat untuk kategori VIP. Kalau rumah sakit swasta lain memberikan25 persen pelayanannya kepada masyarakat yang kurang mampu, menurut Menteri Kesehatan Sujudi, RSA Jaury merupakan RS pertama yang justruhanya memberikan 25 persen bagi masyarakat yang mampu.
***
RSA Jaury sudah memegang predikat terlengkap di kawasan timurIndonesia, sejak tahun 1970. Dan kini lompatan teknologinya semakincanggih. Alat seperti termography scanner (TC Scan) merek ShimadzuSCT-5000 yang dimilikinya, paling modern di Asia Tenggara. Ini bisa digunakan untuk meneliti bagian tubuh seperti otak hanya dalam waktusingkat karena mampu melakukan view (penganalisaan) sampai 800 buahsetiap detiknya.
Peralatan modern lain seperti Blood Gas Analyser 288 yang mampumelakukan pemeriksaan gas darah, elektronit darah dan pH darah dalamwaktu relatif cepat. Juga memiliki Tred Mill T 600 yang jugadilengkapi ECG Sicard 460, dan alat observasi pencernaan dan paru-paru lebih teliti serta alat pencuci darah.
Obsesi Jusuf untuk melengkapi RSA Jaury dengan peralatancanggih bukan untuk menarik pemasukan dana. Tetapi lebih untukmemberikan pelayanan sesempurna mungkin sehingga para pasien daridaerah jauh di Sulawesi, Ambon atau malah Irian Jaya tidak perlumembuang ongkos lebih banyak jika harus ke Jawa.
"Masalah biayaperalatan yang mahal bukan pertimbangan utama. Yang paling pentingadalah bagaimana peralatan modern itu bisa mengobati pasien." Begituprinsip mantan menhankam/Pangab (1978-1983) itu.
Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, RSA Jaurytelah menjalin kerja sama dengan Toyota Memorial Hospital, Nagoya,Jepang serta RSP Pertamina Jakarta. Para tenaga medis dikirim kesana untuk belajar. Kecuali itu, Jusuf menginginkan adanya center of medicalscience. RSA Jaury bukan saja tempat pelayanan kesehatan masyarakatdan praktek bagi calon dokter, tetapi juga menjadi pusat studi bagidokter yang ingin meningkatkan pengetahuan dan keterampilanprofesinya. Pusat studi kedokteran itu membentuk pusat informasikedokteran yang terdiri atas perpustakaan, dokumentasi danpenerbitan jurnal kedokteran RSA Jaury.
Kedua menyelenggarakanpelatihan di dalam maupun di luar negeri sebagai upaya kaderisasidan kemampuan profesional. Dan seperti yang sudah dimulai dilakukanialah mengadakan pertemuan ilmiah. Forum itu, dijadikan ajang menambah dan berbagi ilmu. Adalahkeinginan Jusuf untuk periode tertentu pihak RSA mengundang dokteryang berprestasi baik dan mengabdi di daerah terpencil untuk tampilmembawakan karya ilmiahnya. Kalau ada makalah yang bermutu, ataudokter yang membawakan dianggap cemerlang, RSA Jaury akan memberinyabeasiswa studi lanjut ke luar negeri.
Semangat, jiwa serta komitmen kerakyatan Jusuf masih terusmenyala. Inilah mutiara asli dari timur, di tengah keadaan di manabanyak pelayanan sosial telah tergadai menjadi bisnis komersial.Jusuf tetap seperti yang dulu -- semuanya demi rakyat kecil.
(andi suruji)
KOMPAS - Rabu, 17 Nov 1993 Halaman: 1