November 07, 2007

Andi Siti Nurhani

Menari Untuk Propaganda Buta Huruf

Oleh: Andi Suruji

PENERIMA anugerah seni dari pemerintah RI ini, ingin rasanya menangis setiap menyaksikan tarian tradisional Sulawesi Selatan dipertunjukkan. Belasan tari tradisional ciptaan dan gubahannya yang sering ditarikan sekarang sudah semakin jauh melenceng dari aslinya.

"Itu terjadi karena kurangnya penghayatan penari. Para pelatih pun kurang memahami hakekat tari tersebut. Makanya penari-penari itu tampil seadanya. Padahal, penataan suatu tari mengandung makna yang syarat dengan simbol-simbol kebudyaan Sulsel," ujar Andi Sitti Nurhani (66) dalam percakapan dengan Kompas beberapa waktu lalu, di kediamannya.

Dahulu, kata Ibu Nani - begitu panggilan akrabnya - tujuannya menggeluti seni tari, sebagai sarana propaganda untuk memberantas buta huruf. Sebab pada tahun 1947 itu, buta huruf di Sulsel adalah penyakit masyarakat yang harus segera diberantas. Penyakit ini terutama melanda kaum hawa. Sebab, hanya wanita tertentu saja yang dapat mengenyam pendidikan memadai. "Saya pikir, banyak cara memberantasnya, termasuk melalui kegiatan kesenian," katanya.

Tetapi sekarang, saat hampir tidak ada lagi orang buta huruf, justru tari-tarian yang diciptakannya semakin tak keruan. Menyedihkan memang. "Bagaimana tidak, pejabat hanya menuntut tari tradisional yang baik. Sementara mereka tidak memperhatikannya. Kalau mereka diundang menonton pertunjukan, undangannya diberikan kepada pembantu rumahtangganya," ucap Nani.

Menyadari pula pentingnya seni sebagai wadah pembinaan nilai-nilai budaya bangsa, berbekal pengalaman berkesenian yang cukup matang, ia mendirikan Institut Kesenian Sulawesi (IKS) tahun 1962. Tujuannya adalah membina moral bangsa melalui pendidikan kesenian yang teratur dan terarah. IKS kemudian berkembang dan memiliki 16 cabang. Mengapa namanya institut, padahal bukan lembaga pendidikan formal? Nani menjawab, dengan institut ada beban moral bagi pengurusnya untuk membina kesenian secara teratur dan terarah. Ini pula, katanya, membedakan IKS dari grup-grup kesenian lain yang tidak menitikberatkan pembinaannya pada pendidikan yang teratur dan terarah.
* * *

MELALUI lembaga itulah, Nani mencipta dan menggali tari-tari tradisional. Banyak tari yang semula sudah terkubur, lantaran bubarnya kerajaan-kerajaan, digali dan digubah sampai menjadi tari yang berestetika tinggi. Belasan tari tradisional Sulsel yang sarat makna, lahir dari kerja keras dan permenungannya yang dalam.

Lembaga ini pula, melahirkan penari-penari yang menggeluti seni tari secara serius. Penari-penari binaannya menjadi langganan Istana Negara zaman Presiden Soekarno. Tari-tarian yang menggambarkan budaya manusia Sulsel dari empat etnis besar, dipentaskan pada resepsi HUT Proklamasi, atau kala negara kedatangan tamu. Sering pula ditampilkan pada kegiatan-kegiatan internasional. Ia pun pernah membawa "bendera" kesenian Sulsel, bahkan Indonesia menjelajah pentas-pentas internasional.

Tari, menurut Nani bukan sekadar gerakan-gerakan indah dan ciri suatu masyarakat. Di dalamnya ada unsur seni lain. Seperti, seni penataan busana, seni suara dan seni musik. Dan dalam mencipta atau menggubah suatu tari, Nani bekerja keras memahami betul seni-seni itu agar menyatu dan melahirkan harmonisasi yang utuh. "Tetapi tidak demikian anak-anak sekarang. Penghayatan terhadap aspek-aspek yang terkait itu sangat kurang," begitu penilaiannya.

Nani memang bukan hanya pakar tari tradisional. Kesenian dengan sejumlah cabangnya, ibarat darah yang harus mengalir dalam tubuhnya. Minatnya memahami cabang seni lain amat besar. Maka dalam menggubah sebuah tari, bukan sekedar gerakan yang ia harus tata. Tetapi juga busana, dan musik pengiringnya.

Ia dikenal pula dahulu sebagai biduanita yang bersuara merdu. Meski ketika mulai menyanyi, ia harus menyembunyikan identitas dirinya dengan memakai nama samaran Daeng Sugi. "Nama samaran waktu itu sangat dibutuhkan, karena status penyanyi belum seindah sekarang," kenangnya. Mungkin juga karena ia seorang anak bangsawan yang dinilai tidak pantas menjadi penyanyi.

Ia pun mengungkap kembali sejumlah lagu-lagu daerah tradisional Bugis yang sampai sekarang masih dapat didengarkan dinyanyikan anak-anak sekolah dasar. Ia juga menulis naskah sandiwara radio Majulah Puteriku. "Kisah itu melukiskan rintihan gadis Bugis-Makassar yang masih terbelakang dan ingin maju," ucap pengagum RA Kartini itu.

Ketekunannya dan pengabdiannya menggali nilai-nilai budaya bangsa itulah, sehingga pemerintah RI memberinya piagam Anugerah Seni tahun 1972. Sebuah buku tentang riwayat hidup dan proses kreatifnya telah diterbitkan Depdikbud, sebagai penghargaan atas ketekunannya membina kesenian tak putus selama 20 tahun.

Pemerintah Australia pun memberinya penghargaan kebudayaan "Cultur Award". Dan tahun 1976, Pemda Ujungpandang memberinya penghargaan sebagai warga teladan dari kalangan budayawan.

* * *
TATKALA menyaksikan tari-tari tradisional Sulsel kini semakin jauh melenceng dari bentuknya semula, darah seninya seolah kembali mendidih. Usia yang sudah senja, lahir 25 Juni 1929, bukan penghalang baginya. Apalagi, anugerah seni yang diberikan pemerintah kepadanya, seolah memompa darah seninya untuk berbuat sesuatu, menyelamatkan nilai-nilai budaya, seni tari tradisional Sulsel, terutama yang ciptaan atau gubahannya.

Akhirnya, di awal tahun 1995 ini, ia mengaktifkan kembali IKS yang "tidur" hampir 20 tahun lamanya. Kegiatan pertama dalam "kebangkitan kedua" IKS ini adalah pelatihan bagi puluhan calon-calon pembina seni musik dan vokal. "Kalau dulu IKS identik dengan seni tari, maka kebangkitan kedua ini kami mulai dengan bidang lain. Sebab inilah yang saya lihat semakin kurang dasarnya bagi anak-anak di sini," katanya.

Tidak sukar bagi Nani mendatangkan calon-calon pelatih dari daerah untuk ditatar. Sebab sebagai seorang istri mantan bupati, bahkan bekas muridnya banyak istri-istri bupati dan pejabat di daerah, ia bisa melobi mereka cukup melalui telepon. "Tapi kita surati juga secara resmi sesuai prosedur organisasi," katanya.

Lagi pula, menurut Nani, Gubernur Sulsel, Zainal Basrie Palaguna mendukung kegiatan ini guna mempertahankan budaya tradisional bagi generasi muda, di tengah arus globalisasi yang demikian deras. Palaguna pun "menyuntikkan" dana kepada IKS agar lembaga ini kembali bergairah. "Ya, kami sependapat bahwa kesenian tradisional ini harus dibina, diperhatikan oleh kita semua," katanya.

* * *

AKTIVITAS cucu seorang pejuang itu, di bidang kesenian dahulu, memang tidak menjadi soal. Sebagai keturunan bangsawan, kata-kata dan tindak lakunya bisa diteladani masyarakat, sehingga tidak sulit baginya mengajak masyarakat terlibat dalam kegiatan yang dibinanya. Apalagi anak-anaknya, khususnya yang wanita, selain aktif menari juga semuanya bisa menyelesaikan studinya sampai sarjana, meski bukan melalui jalur pendidikan kesenian formal.

Sebagai seorang istri bupati, Nani menyimpan kenangan yang sukar dilupakannya. Ketika suaminya, Andi Sapada (almarhum), menjadi bupati pertama di Sidenreng Rappang, keadaan negara memang masih serba kekurangan. Kas daerah saja kosong. Ketika itu, Nani merelakan perhiasan berliannya dilego seharga Rp 500.000. Separuhnya diberikan kepada suaminya untuk membangun Sidrap, sisanya untuk membeli rumah dan mobil bekas. "Mobil itu lebih banyak dipakai bupati untuk perjalanan dinas," kenang penggemar berat membaca ini.

Boleh jadi, di era sekarang, sukar dijumpai lagi seorang istri bupati seperti Nani yang rela menjual harta pribadinya untuk kepentingan pembangunan. Sebab dana pembangunan sudah tersedia, tinggal bagaimana mengelolanya. Tetapi Nani, dalam kondisi dana yang terbatas, ia bisa berkreasi, menciptakan sesuatu yang berguna bagi daerahnya. Bahkan terhadap pembinaan budaya bangsa. Sampai kini.... (andi suruji)

KOMPAS - Selasa, 07 Mar 1995 Halaman: 17

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Halo Mas.
Saya Cici, setelah membaca blog Mas tentang Ibu Nani, aku tertarik dengan IKS ini, mas punya no kontak yang bisa dihubungi?

Trims,
Cici
cici_marsiana@yahoo.com
08568085353