November 08, 2007

Mohammad Aksa Mahmud

Pengusaha Jangan Hanya Pikirkan Laba

Oleh: Andi Suruji/Abun Sanda

MOHAMMAD Aksa Mahmud. Nama ini tidak sepopuler dengan sejumlah konglomerat penyandang nama besar. Tapi bagi masyarakat Sulawesi Selatan, Aksa dielukan sebagai "konglomerat muda" --karena kemampuannya dalam tempo singkat survive pada demikian banyak bidang usaha. Ia dinilai memberi kontribusi besar dalam mengharumkan nama Sulsel dalam kancah bisnis.

Dikenal rendah hati, Aksa jarang bersedia memberi komentar kepada pers. Jika ada sesuatu yang hendak dipublikasikan, ia cenderung meminta stafnya yang berbicara. "Seorang pengusaha harus low profile, tidak perlu banyak bicara. Toh yang penting dalam bisnis, bagaimana memenangkan persaingan, merebut peluang yang ada," Aksa memberi argumentasi ketika ditemui di kediamannya yang asri dan resik di Menteng, Jakarta Pusat, hari Jumat ini.

Dalam catatan Kompas, pria kelahiran Barru Sulawesi Selatan, 16 Juli 1945 ini bergerak di empat divisi usaha, makanan, otomotif, industri dan lembaga keuangan. Ia, di antaranya menjadi dealer mobil Mitsubishi di delapan propinsi di Indonesia Timur, terjun di beberapa jenis industri termasuk karoseri mobil dan batu marmer. Ia memiliki perusahaan kontraktor terpandang yang di antaranya menekuni pembangunan jalan tol, Tuju Wali-wali, salah satu eksportir udang terbesar di luar Jawa, jasa taksi di beberapa kota besar di Indonesia, air mineral, lembaga keuangan non bank (leasing). Semua dengan bendera usahanya, yang berkibar, Bosowa.

Tak sampai di sini, ia membangun pabrik semen di Bantimurung, Maros, pinggiran Makassar, dengan kapasitas terpasang 1,5 juta ton per tahun. Proyek itu menelan total biaya setengah trilyun rupiah lebih. Kiprahnya dalam sejumlah sektor bisnis, sejumlah proyek besar di kawasan Indonesia Timur dan Jawa Barat, membuat dia masuk dalam daftar pendek "pendatang baru elite" bisnis Indonesia. "Jika Tuhan mengizinkan, proyek itu pasti jadi," katanya. Lelaki sederhana ini dikenal tak mau takabur, sehingga semua rencananya selalu ia dahului dengan kalimat," Jika Tuhan mengizinkan..."

* * *

BEBERAPA segi yang membuat banyak orang kagum kepada Aksa Mahmud adalah keuletan dan kejujurannya. Ini mungkin karena ia pengusaha yang benar-benar berangkat dari bawah.

Semuanya, berawal ketika ia masih duduk di bangku SD di Mangkoso, kota kecil di Kabupaten Barru, 102 km utara Makassar. Di sela-sela waktu belajar, ia menyempatkan diri jualan permen. Pulang sekolah Aksa kecil jualan es di depan masjid.

Semasa duduk di bangku SMP Pare-pare (kota terbesar kedua di Sulsel setelah Makassar-red), "tradisi" dagang itu ia lanjutkan. Jika liburan sekolah, ia membawa hasil-hasil laut bernilai tinggi seperti rumput laut, japing, lola ke kota Pare-pare dan Makassar. Hasil jualan hasil laut memberinya bekal cukup untuk sekolah dan jajan. "Mungkin juga karena pernah demikian lama menekuni bidang ini sehingga Bosowa terjun dalam bisnis udang dan rumput laut," katanya.

Tak puas sekolah di Pare-pare, Aksa hijrah ke Makassar dan masuk STM, lalu Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin. Tapi hanya sampai sarjana muda, ia tak melanjutkan kuliahnya karena keasyikan terjun dalam gemuruh aksi mahasiswa tahun 1966 dan situasi pendidikan saat itu yang labil.

Aksa sempat beberapa tahun ikut mengurus pers daerah, tetapi ia akhirnya memutuskan memilih jalur bisnis. Ia bergabung di perusahaan seniornya di Universitas Hasanuddin, HM Jusuf Kalla SE, NV Haji Kalla. Aksa mulai dari bawah, 1968, hingga akhirnya menjadi direktur salah satu anak perusahaan besar di Indonesia Timur itu.

Sementara itu, perusahaan Aksa sendiri, Bosowa, kian berkembang. Aksa pun akhirnya sepenuhnya mengurus Bosowa.

"Bosowa dikembangkan, antara lain dengan modal pinjaman Rp 5 juta dari BNI Pare-pare. Awalnya menjadi dealer mobil Datsun. Bubar dengan Datsun, saya menjadi dealer Mitsubishi sampai sekarang," katanya. Lalu satu persatu perusahaan multi bidang Aksa tekuni, hingga akhirnya kini ia memimpin 19 perusahaan, dengan spesifikasi berbeda. Dari udang sampai semen.

"Mengapa semen?" Aksa menjawab, bisnis itu sudah direncanakannya sejak 1991 lalu. Awalnya, ia tersentuh pada pengalamannya kerja di NV Haji Kalla beberapa dasa warsa silam. Perusahaan itu, tahun pertama Pelita I (1969) memenangkan tender semen di PU sebanyak 500 zak. Untuk "mengawal" pemindahan semen itu dari gudang toko ke gudang PU, ia mengendarai sepeda motor. Sesudah itu, berturut-turut perusahaan tersebut memenangkan tender semen dalam jumlah lebih banyak.

Mungkin lantaran latar belakang itulah, sehingga ia kemudian secara guyon mengatakan, kalau Tuhan memberi rezeki, ia hendak membangun pabrik semen. "Alhamdulillah, keinginan itu terkabul." Ia mengsyukuri nikmat Tuhan.

* * *

AKSA adalah sosok pelaku bisnis yang suka memandang bisnis dari kaca mata murni. Maka, ia selalu berusaha memenangkan pertarungan merebut peluang bisnis. Namun ia cepat menyebutkan bahwa bagaimana pun "lurusnya" pandangan dia terhadap bidang bisnis, ia selalu tidak pernah menanggalkan sisi-sisi manusiawi dari aktivitas bisnis itu. Ia tidak ingin menyakiti, dan tidak ingin "mematikan" golongan yang relatif kecil. "Bisnis seperti "perang", tetapi pengusaha tidak bisa hanya memikirkan laba, hegemoni usaha. Pengusaha mesti juga memikirkan sisi-sisi manusiawi," katanya.

Menurut beberapa staf dekatnya, Aksa selalu berpesan agar Bosowa sebagai suatu badan usaha yang telah berkembang, tidak turut "bertarung" di lahan pengusaha yang sedang berkembang. Ini tidak terlepas dari pengalaman Aksa, betapa banyak suka-duka yang dialaminya ketika membangun dan mengembangkan suatu usaha kecil menjadi besar.

Sisi lain yang paling penting, menurut penggemar golf dan jogging ini ialah memperhatikan sumber daya manusia di perusahaan. Ia tidak pernah menganggap dan memperlakukan stafnya ibarat pegawai beneran. Akrab dengan stafnya, ia berpendapat, seorang "bos" perusahaan tidak boleh mengambil alienasi, tidak benar jika memandang staf sebagai orang yang makan gaji semata. Para staf justru mesti diajak dan digugah untuk memiliki kebanggaan dan rasa memiliki perusahaan itu. "Habislah si pengusaha kalau berpikir mampu bekerja sedirian. Tanpa staf, si boss, bagaimana pun hebatnya, tak akan bisa apa-apa," katanya.

Namun lepas dari itu, Aksa dikenal kerap membuat stafnya kalang kabut sebab sering tiba-tiba ingin melakukan sesuatu yang tak "pantas" dilakukan lagi seorang bos seperti dia. Baru-baru ini misalnya, ketika meninjau lokasi pabrik semen, ia tiba-tiba ingin mencapai lokasi pabrik semen dengan berjalan kaki beberapa kilometer. Bahkan harus naik turun gunung dan menembus semak belukar, padahal hari itu masih dalam bulan puasa, dan mentari bersinar sangat terik.

Anak buahnya yang "tumbang" dalam perjalanan jauh itu, disuruhnya mengaso, tak perlu mengikutinya.

Aksa mengaku sangat menikmati hal-hal seperti itu, sebagai seni kepemimpinan. Prinsip dia, jauh lebih ideal melihat sekali, daripada mendengar seratus kali. "Jalan kaki sekian kilometer toh olahraga juga, tak ubahnya main golf sekian hole," Aksa tergelak-gelak.

Boleh jadi karena sifatnya sebagai pekerja keras tadi, lalu disimbolisasikan dengan kegemarannya mengoleksi patung-patung kecil kuda jantan. Di atas lemari bufet di ruang tamu rumahnya, terdapat enam patung kuda berbagai posisi. Patung berestetika tinggi itu, terbuat dari bahan kayu hitam dan kristal.

Di dinding ruang tamu itu pula tergantung sebuah lukisan besar pajjonga (pemburu rusa -red). Pajjonga merupakan salah satu simbol kejantanan manusia elite Sulsel. Gambar itu menunjukkan betapa dengan gagah berani, di atas kuda-kuda pilihan, pemburu itu menjerat rusa-rusa liar dengan hanya seutas tali.

* * *

DI kalangan pengusaha di Makassar, Aksa dikenal sebagai pengusaha bertangan dingin, punya hubungan luas dengan birokrat dan usahawan lain. Ia pun dikenal sebagai pekerja keras dan pelobi kelas kakap. Ibaratnya, apa yang dikerjakannya, berpotensi sukses, meski harus melalui perjuangan keras dan ketekunan melobi.

"Kerap orang lain menilai suatu proyek kecil kemungkinannya berhasil, tetapi Aksa malah melihat masih ada kemungkinannya untuk sukses. Semangat pantang menyerah, melobi mitra ini yang kami pelajari dari Aksa," ujar Bachder Djohan, salah seorang kadernya di Hipmi Sulsel.

Bachder benar. Kelihaian melobi dan kedekatan hubungan dengan banyak kalangan itulah yang menjadi salah pilar kekuatannya. Dari hampir 20 perusahaan besar yang dikemudikannya, 60 persen di antaranya, hasil ambil alih. Bos-bos perusahaan-perusahaan pailit, atau pihak perbankan, kerap mendekati dia untuk melakukan "take over" atas perusahaan yang "runtuh".

Jika melihat masih ada peluang membangun perusahaan "runtuh" tadi, Aksa segera mengambil alih. Pengambilalihan itu ternyata kerap sukses. Agaknya, ia tidak sekedar pandai melihat feasible tidaknya suatu usaha tetapi ia juga memiliki daya intuisi dan feeling bisnis yang tajam.

Soal-soal manusiawi dan kerja keras tersebut, ditanamkan benar oleh Aksa dan istrinya, Ramlah, anak ketujuh "trah" Kalla kepada lima orang anaknya, Erwin (19), kini kuliah di jurusan bisnis Pitsburg University, Sadikin (17) SMA III Bandung, Melinda (15) SMA di Singapura, Athirah (12) kelas VI SD dan Muhammad Subhan (8 tahun).

Kelima anaknya ia didik dalam cara-cara khas Bugis, keras tetapi manusiawi. "Saya tidak mau melihat anak saya petantang-petenteng, mentang-mentang jadi anak pengusaha. Saya ingin mereka rendah hati, taat beribadah, pintar di sekolah," ujarnya. (Andi Suruji/Abun Sanda)

KOMPAS - Selasa, 11 Apr 1995 Halaman: 20

Tidak ada komentar: