November 07, 2007

Peter Spillett

Yakin Orang Makassar Penemu Australia

Oleh: Andi Suruji

SEJARAH mengajarkan, orang pertama yang berkunjung ke benua Australia adalah Abel Tasmen (Belanda) tahun 1642. Atau James Cook yang berkebangsaan Inggris. Tapi seorang ahli sejarah Australia sendiri, Peter Spillett AM (68) yang memusatkan perhatiannya pada Australia Utara (Aborigin) menyangsikan itu. Dari hasil penelitiannya selama ini - belum tuntas - ia lebih meyakini kalau orang asing pertama yang mendarat di Australia adalah orang Makassar.

"Dari penelitian saya, pasti seorang yang asal dari Makassar, karena mereka ada ketrampilan berlayar dan ada perahu yang cukup baik untuk berlayar jauh. Meski orang Timor dan Flores lebih dekat dengan Australia Utara, tetapi mereka tidak memiliki teknologi membuat perahu yang cukup baik untuk berlayar jauh," katanya kepada Kompas di Northern Territory Museum of Arts and Sciences, Darwin, Australia Utara.

Ia menegaskan, bangsa Portugis juga sangat kecil kemungkinannya disebut sebagai penemu benua Australia. Orang-orang Portugis memang berlayar dari Malaka sampai Pulau Solor sekitar tahun 1640. Tapi dalam pelayaran itu, mereka singgah dulu di Makassar. Di sini mereka mengambil pilot untuk menunjukkan rute. "Bagaimana mereka bisa berlayar kalau tidak ada orang yang tahu rute. Bagaimana mereka bisa tahu ada benua di bawah (Australia di bagian selatan Nusantara -- red) jika tidak ada orang yang kasih tahu. Dan pilot itu pasti orang Makassar yang sudah sudah tahu rute ke Australia Utara," katanya.

Puluhan, bahkan mungkin ratusan buku sejarah yang telah digeledahnya di pelbagai perpustakaan, tak selembar pun merinci lebih detail hubungan orang-orang Makassar di Sulawesi Selatan (Indonesia) dengan Marege di Australia Utara. Dalam naskah-naskah kuno yang ditemukan Spillett di Belanda dan Inggris, dua negara yang dikenal memiliki informasi sejarah yang lengkap, hanya ada informasi mengenai benteng Inggris di utara sini, dekat Darwin. Laporan dari benteng itu yang sampai ke Inggris, hanya menyatakan bahwa ada beberapa orang Makassar mendarat di sini mencari hasil laut.

"Dulu ahli antropolog bilang, mukanya mirip orang dari Sulawesi atau Melayu. Ada juga cerita orang Aborigin bahwa mereka keturunan Makassar. Karena itu saya ke Makassar cari data," katanya.

***

DARI sinilah petualangan Peter Spillett menggeledah pertalian Makassar-Marege dimulai secara total. Ia menggali lebih dalam sejarah lisan dari sejumlah orang yang memungkinkan memperkuat hipotesisnya. Ia tidak bisa menghitung berapa kali ia bolak-balik Makassar-Darwin dan Marege. Di Jalan Maipa di Ujungpandang (Peter Spillett lebih suka menyebut Makassar karena katanya lebih romantis) terdapat sebuah rumah yang menggunakan kayu besi. Kayu itu dibawa Daeng Remba dari Marege. Daeng Remba ini bapak dari Manggrai Daeng Maro yang pernah berlayar dari Makassar ke Marege lebih 20 kali sekitar tahun 1880-an. Dia mengawini orang Aborigin dan punya keturunan.

Dari penggaliannya, ia menemukan bahwa orang Makassar itu saudagar, suka berlayar jauh dan memiliki teknologi membuat perahu yang bisa berlayar jauh. "Orang Makassar itu, apa yang bisa dijual mereka cari. Dulu mereka cari kayu, mutiara, tetapi umumnya mencari hasil laut," ucapnya.

Tapi pencarian Spillett tidak berjalan mulus. Ia sudah menemukan bahwa orang Makasar menggunakan perahu sampai ke Marege, tapi perahu jenis apa yang digunakan, memerlukan penelitian lagi. Dari cerita demi cerita yang dikumpulkannya serta gambar-gambar primitif yang dilihatnya, ia berkesimpulan bahwa perahu itu adalah jenis padewakang. Perahu ini digunakan orang Makassar sekitar tahun 1600-an.

"Saya kira padewakang berlayar sebelum abad ke-17. Pinisi yang sangat terkenal, perahu generasi jauh di belakang," katanya. Ia meyakini, jika perahu jenis padewakang itulah yang digunakan orang-orang Makasar berlayar jauh mencari hasil laut seperti teripang dan sampai ke Australia Utara.

Kesulitan selanjutnya, ialah merekonstruksi perahu yang sudah punah itu. Dari cerita ke cerita yang dituturkan orang-orang tua pelaut, gambar-gambar primitif dan diperkuat keahlian orang-orang Tanaberu, Bulukumba (Sulsel) membuat perahu, akhirnya perahu jenis padewakang itu dapat juga direkonstruksi. Berlayarlah Spillett menapak tilas perlayaran tradisional orang-orang Makassar dengan perahu purba yang dinamakannya "Hati Marege" itu bersama 12 awak pilihan. "Hati Marege" yang tak menggunakan sepotong pun bahan logam itu, akhirnya sampai di Marege tahun 1988. Sekarang, "Hati Marege" sudah dimuseumkan di Darwin.

Di kalangan orang-orang Marege, ia menjumpai bahasa, acara, sejarah, tarian dan lagu mengenai Makassar. Mungkin ada sekitar 500 kata yang digunakan sama dengan Bahasa Makassar. "Ada beberapa kata kuno, seperti kata kotor. Orang Marege itu tahu nama-nama bagian perahu, seperti sombala tanja. Mereka tahu dan memberi nama bagian perahunya dengan bahasa Makassar. Mereka tahu balerang, balengo, colo dan kaluru," tuturnya.

Karena itu, katanya harus ada sejarawan Makassar yang mengetahui persis bahasa Makassar kuno yang mengadakan penelitian mendalam agar dapat memastikan kapan kapan persisnya bahasa itu digunakan. Dari situ bisa dipastikan kapan orang Makassar tiba di Marege.
***

PETUALANGAN sejarah Spillett tidak berhenti sebatas merekonstruksi perahu dan pelayaran purba orang Makassar sampai Marege. Ia kini sedang menggali sejarah lisan mengenai orang-orang Makassar di Flores dan Timor. Sebab sangat diyakini, orang Makassar terlebih dahulu singgah di Flores dan Timor sebelum menyeberang ke Australia Utara.

"Saya belum puas. Waktu pertama orang Makassar mendarat di Autralia saya masih cari. Karena itu sudah tua, sudah lama, maka saya harus pakai sejarah lisan. Saya mendapat cerita mengenai orang Makassar dulu, bukan pencari hasil laut saja, tetapi juga pedagang, saudagar. Mereka membawa mesiu, senjata dan membawa kembali kayu cendana, lilin, madu," tuturnya.

Apakah hubungan dan perjalanan orang Makasar ke Marege itu dalam konteks ekspansi kekuasaaan atau betul-betul berdagang saja? "Saya kira itu istimewa cari hasil laut saja, karena tidak ada sistem barter waktu itu, orang Marege tidak tahu sistem barter. Orang Marege biasa bantu orang Makassar mencari hasil laut. Lalu orang Makassar memberi teknologi, bagaimana membikin perahu, membuat layar. Itu proses alih teknologi," katanya.

Menurut sejarawan dulu, kata Peter Spillett, mereka bilang, "Ya itu sebagian dari ekspansi, begitu. Tapi saya belum dapat bukti. Orang Makassar dulu membawa pohon lontar dan asam. Mereka tanam di sini. Lontar itu lambang Makassar. Kalau orang tanam pohon lontar biasa dipikir itu bagian dari wilayahnya. Karena banyak orang begitu, ada kemungkinan raja Gowa bilang kekuasaanya sampai di Marege," duga Spillett.

Dalam sejarah lisan orang Flores dan Timor, kata Spillett, dikatakan orang Makassar mendarat di Timor dan Flores jauh sebelum orang Portugis masuk. Karaeng Tallo mendarat di Timor tahun 1641. "Nah, dari sana ke Australia Utara tidak jauh. Empat hari saja berlayar dari Pulau Kisa ke Darwin," katanya.

***

MENGAPA Peter Spillett begitu gigih mengungkap sejarah purba ini? "Saya sejarawan. Sudah tahu tentang orang utara? Indonesia dan Australia sama-sama saya cintai," katanya. Ia sangat lancar berbahasa Indonesia. Tidak sedikit pula bahasa Makassar yang suka digunakannya bila bercakap dengan orang Makassar. Logat Makassar sering "nyelonong" dalam tutur katanya. Karena kecintaannya itulah, orang-orang Makassar yang memiliki pertalian darah dengan Marege, memberinya gelar Daeng Makkulle yang bisa diartikan sebagai "orang yang kuat dan bisa melakukan sesuatu". Makanya, banyak orang menyapanya dengan Bapa Daeng.

Dalam kartu namanya yang terdapat foto dirinya itu, mantan Kepala Bidang Kebudayaan dan Sejarah Kementerian Kebudayaan Northern Territory ini mencantumkan empat alamat sekaligus. Selain alamat rumahnya di Darwin, juga ada alamat NT Museum of Arts & Sciences. Sedangkan di Indonesia ia mencantumkan alamatnya di Ujungpandang dan Kupang.

Itu tidak lain untuk memudahkan hubungannya dengan kolega-koleganya. Sebab sebentar berada di Darwin, ia kemudian berada lagi di Ujungpandang, Kupang dan Dili. Semuanya dilakukan dengan biaya sendiri. Ia memang pernah mendapat biaya makan dan transpor dari pemerintah Australia dalam penelitian itu, tapi sejak pensiun 10 tahun silam ia terus melanjutkan penelitiannya tanpa biaya pemerintah. "Saya sudah pensiun. Saya punya waktu menggali dan membiayai sendiri penelitian ini," katanya.

Obsesinya, menuntaskan penelitian yang sudah sekitar 200 halaman itu. Kalau rampung kemungkinan membengkak menjadi 300 halaman dan sudah ada penerbit yang mengincar untuk diterbitkan menjadi sebuah buku, melengkapi 20 buku yang telah ditulisnya.

Ayah dua anak dari istrinya Mureul yang guru SMP di Darwin ini juga punya rasa humor. "Mau kirim kartu ucapan ulang tahun?" katanya sambil terkekeh ketika ditanya tanggal kelahirannya. Ia lahir 20 Januari 1926 di London dan sudah tinggal 45 tahun di Australia. "Saya ini transmigran juga, he...he..." (Andi Suruji)
KOMPAS - Sabtu, 16 Jul 1994 Halaman: 20

2 komentar:

Unknown mengatakan...

mantab sekali tulisannya...

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.