November 07, 2007

Prof Mr Teng Tjing Leng

Pengacara yang Pernah Membela Monginsidi
PENGACARA tua tak pernah "mati", hanya mundur perlahan. Ungkapan ini terasa pas untuk Prof Mr Teng Tjing Leng. Memulai sebagai pengacara pada usia 33 tahun, hingga kini ia masih membuka praktek sebagai pengacara dan corporate lawyer di Ujungpandang, meski usianya telah menginjak 87 tahun.
Ada kesan tersendiri manakala berbicara panjang dengannya. Meski geraknya mulai lamban, ia masih tampak sehat, tawanya masih kencang berderai. Ingatannya masih setajam suaranya. Ia hafal di luar kepala bagaimana urut-urutan peristiwa revolusi tahun 1945. Fisiknya pun tahan diajak diskusi berjam-jam.
"Saban hari saya masih yoga sejam, ditambah senam sejam," ucap Prof Teng menyampaikan resepnya masih bugar. "Jika diajak yoga dengan kalian wartawan muda, saya masih berani nantang," ia berseloroh sambil terbahak.
* * *
PROF Teng tatkala muda dan studi di Leiden Belanda, ikut aktif menyuarakan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ia sempat dekat dengan Prof Mr Soepomo, Mr AA Maramis, dan Prof Mr Thoeng Thian Pit).
Ketika kembali ke Indonesia, ia ikut aktif membela negeri ini, disamping mulai membuka law firm di Lampung selama beberapa tahun, sebelum kemudian hijrah ke Makassar. Selama di Makassar inilah, namanya mulai berkibar. Ia ikut dalam Konferensi Malino, Sulsel Juli 1946, Konferensi Denpasar, Desember 1946, Konferensi Pangkalpinang, Riau, 1947 dan puncaknya Konferensi Meja Bundar 23 Agustus sampai 2 September 1949 di Denhaag. Dari pelbagai konferensi ini, KMB paling berkesan bagi lelaki kelahiran Menado 13 Juli 1906 ini. Dalam KMB itu, ia melihat bagaimana para pemimpin Indonesia duduk semeja dengan pihak Belanda dan berunding dengan tegar.
Teng mereguk banyak pengalaman dari pelbagai konferensi yang membahas masa depan republik ini, pada masa itu. Ia menimba pengalaman bagaimana alotnya, bagaimana masing-masing pihak bersikukuh mempertahankan kepentingannya. "Akhirnya memang Belanda harus mengakui, de facto dan de jure terhadap Indonesia," tutur Teng.
Namanya sebagai pembela kaum republiken menanjak tatkala menangani perkara Robert "Bote" Wolter Monginsidi (1925-1949). Kendati kemudian Wolter tetap dihukum mati setelah permohonan grasinya ditolak, ia merasa puas sempat membela pejuang gagah berani itu. Wolter, tutur Prof Teng, adalah pejuang yang lengkap. Ia tidak bisa diajak kompromi oleh Belanda, konsisten menuntut Belanda angkat kaki sepenuhnya dari bumi Indonesia.
Awalnya, lanjut Teng, di tingkat pengadilan negeri Wolter dijatuhi hukuman mati oleh majelis hakim Belanda. Dalam peradilan yang dirasanya tidak adil itu, Wolter menolak didampingi pembela. Ayah Wolter, Monginsidi, berusaha membujuk Wolter untuk didampingi pembela. Monginsidi percaya, upaya untuk lolos dari lubang jarum masih ada, meski hampir muskil.
Awalnya, Wolter --anak muda kelahiran Malalayang, Manado 14 Pebruari 1925-- menolak keras untuk memohon grasi (pengampunan) kepada Belanda. Memohon pengampunan pada Belanda sama dengan mengesahkan kehadiran Belanda dengan segala sepak terjangnya, sama dengan mengakui semua perbuatannya melawan Belanda, sebagai tindak pidana yang pantas dihukum. Wolter konsisten pada perjuangannya. Ia teguh pada keyakinannya. Tapi tatkala dibujuk-bujuk ayahnya, antara lain dengan menyebutkan ibunya saban hari menangis, Wolter akhirnya luluh, dan menyerah.
Teng bergerak cepat, dan mengirim permohonan grasi kepada Belanda. Tetapi seperti diketahui, grasi itu ditolak Belanda. Wolter pun dieksekusi di depan regu tembak, di Pacinang, Makassar, 5 September 1949. Ia dibaringkan dengan Alkitab sebagai alas kepalanya. Tanggal 10 November 1950 jenasahnya dipindahkan dari Pampang, pinggiran Makassar ke Taman Makam Pahlawan, Panaikang, Makassar.
"Saya sedih sekali, tetapi tak dapat berbuat apa-apa, guna menyelamatkan pejuang heroik itu," tutur Prof Teng. Ketika putusan penolakan grasi itu dijatuhkan, Teng tengah berada di Belanda -- karena mengikuti KMB. "Kala itu, Arnold Mononutu menemui saya di hotel dan mengabarkan, grasi Wolter ditolak. Kami sangat sedih," katanya.
***
TATKALA gemuruh revolusi lewat, awal 50-an, Teng mulai berkonsentrasi pada kantor pengacaranya. Dengan cepat namanya melambung. Ia tampil sebagai pengacara terpandang di Indonesia Timur. Teng juga termasuk pelopor bidang corporate lawyer di kawasan tersebut. Tetapi rupanya, ia tidak pernah bisa sepenuhnya menjadi lawyer. Tatkala Universitas Hasanuddin didirikan, ia diminta menjadi salah seorang pengajarnya. Bahkan tahun 1958, meski masih tidak sepenuhnya mau aktif di Unhas, ia sudah diangkat sebagai guru besar hukum perdata universitas tersebut. Teng tercatat sebagai guru besar hukum perdata pertama di Indonesia Timur. Tahun 1959, Arnold Mononutu, pejuang yang diminta Ir Soekarno menjadi Rektor Unhas, meminta dia aktif sepenuhnya di Unhas, sekaligus menjadi Sekretaris Senat Universitas. "Jika Anda menolak, saya juga menolak jadi Rektor Unhas," kata Mononutu dalam suratnya sebagaimana dituturkan oleh Teng. "Saya akhirnya bersedia. Pertimbangan saya, Arnold salah seorang yang sangat dekat dengan Bung Karno. Arnold Mononutu tinggal bikin memo butuh ini-itu, dan segera Bung Karno kabulkan," katanya. Artinya, kalau Unhas butuh fasilitas ini-itu untuk mengembangkan PTN tersebut, tentu tak sulit dibawah Mononutu. Meski begitu, toh Teng tetap menolak menjadi pegawai negeri. Ia menolak terikat sebagai pegawai negeri. Jadilah Teng menjadi sekretaris senat dengan honor Rp 680 sebulan. Jumlah ini tentu sangat kecil bagi dia, yang kala itu sudah jauh kecukupan sebagai pengacara. Honor dari universitas ia berikan kepada sopirnya. Masa itu, tatkala jalan-jalan di kota Makassar masih disesaki oleh sepeda, bendi, dan tallu roda (becak-Red), Teng sudah hilir mudik di Makassar dengan mobil sedan. Dalam beberapa tahun Unhas melahirkan lima fakultas. Sebelumnya, sudah lahir beberapa fakultas, yakni Fakultas Ekonomi, hukum, kedokteran dan teknik. Namun karena anggaran belanja sangat tipis, Unhas akhirnya main "serabutan" untuk mendapatkan ruang kuliah. Banyaknya fakultas ini pula, memunculkan muncul persoalan baru, yakni masalah dosen dan honor untuk dosen. Arnold Mononutu nekad memerintahkan Teng mencari dosen terbang. Soal dana bisa ditanggulangi, karena itu tadi, Mononutu (meski mulai risih) bisa mengirim Bung Karno "nota" agar disuplai dana. Di tengah kesibukannya sebagai pengacara dan guru besar hukum perdata di Unhas, Teng, tahun 1965 bersama rekan-rekannya mendirikan Universitas Katolik Atmajaya di Ujungpandang, akhir September 1965. "Waktu itu, kami tak tahu ada kejadian besar di Jakarta, G 30 S/PKI. Kami baru tahu itu dari koran dan kemudian radio. Tapi, toh Atma Jaya sudah kami dirikan. Apalagi tak lama kemudian, Cosmas Batubara ke Ujungpandang dan memberi kami semangat agar tidak cemas," katanya. Selain Cosmas, datang pula Frans Seda, memompa semangat. Tetapi tatkala menginjak usia delapan tahun, 1973, Atma Jaya Ujungpandang, malah tutup. Tahun 1980, Atma Jaya buka lagi. Prof Teng terpilih sebagai rektor hingga 1986, tatkala usianya menginjak 80 tahun. "Sudah cukuplah, beri kesempatan yang lebih muda," kata Teng. * * * KECUALI aktif sebagai pengacara, Prof Teng tetap giat dalam kegiatan agama. Lelaki yang termasuk pemuka agama Katolik di Indonesia Timur ini. Teng yang dipermandikan tahun 1920 itu beberapa tahun lalu ia dianugerahi Ordo Sancti Gregory Magni of Pope dari Sri Paus. Bagi keluarga Teng, penghargaan Sri Paus sama dengan pengukuhan peran dia bagi pengembangan gereja di Indonesia Timur.
Selain masalah gereja, Prof Teng masih kuat diajak diskusi tentang masalah hukum, khususnya hukum perdata dan pidana. Buku-bukunya bertebaran, berjumlah sekitar 20 ribuan. Buku hukum tahun 1880-an hingga 1993, misalnya, dalam beberapa bahasa, diletakkan rapi dalam rak-rak mejanya.
Dari tiga anaknya, hanya bungsunya yang mengambil pendidikan hukum. Anak pertama sarjana Inggris, wakil manajer sebuah hotel di Balikpapan. Anak kedua, dokter, kini menetap di Los Angeles, AS. Dari tiga anak itu, Teng memperoleh empat orang cucu. "Jadi hanya anak bungsu saya saja yang bisa mewarisi seluruh buku hukum saya," katanya.
(Andi Suruji/Abun Sanda)
KOMPAS - Senin, 20 Dec 1993 Halaman: 20

Tidak ada komentar: