November 07, 2007

LE Manuhua

Lebih Jauh Dengan LE Manuhua

PENGANTAR REDAKSI
DI kalangan wartawan dan penerbitan pers, namanya tidak asing
lagi. Lazarus Eduard Manuhua adalah pekerja pers dan grafika yang
ulet dan patriotik. Dan, karena ia adalah wartawan pejuang dan
pejuang wartawan yang mengabdi sebagai insan pers sejak usia 18
tahun maka putra kelahiran Ambon tanggal 4 Juni 1925 ini dianugerahi
Bintang Mahaputra Utama oleh kepala negara pada 15 Agustus 1994.
Ketika melangkahkah kaki yang pertama ke penerbitan pers Sinar
Matahari tahun 1943 di Ambon (zaman pendudukan Jepang), ia sama
sekali tidak bercita-cita menjadi wartawan buat seumur hidupnya.

Tapi begitu lengket dengan kehidupan jurnalistik, ia tidak mampu
melepaskan diri lagi, terutama karena pers pada waktu itu adalah
sarana penyaluran nasionalisme dan patriotisme. Bahkan bila terjadi
reinkarnasi, ia tetap memilih profesi wartawan dalam kehidupan
selanjutnya.

Karena tulisan-tulisannya yang bernapaskan nasionalisme dan
cinta tanah air, maka ia dikenakan tahanan kota oleh polisi Belanda
pada April 1947. "Musibah" inilah yang menjadikannya kabur ke
Ujungpandang dan menjadi sesepuh pers di kota Angingmammiri hingga
detik ini.

Ia melarikan diri dan bersembunyi di sebuah kapal Belanda yang
berlayar dari Ambon ke Makassar, dan mendarat di ibu kota Negara
Indonesia Timur (waktu itu) pada 19 April 1947. Tujuan sebenarnya
adalah kota perjuangan Yogyakarta. Tapi, beberapa wartawan RI dan
wartawan Makassar yang menghadiri pembukaan sidang parlemen NIT
menganjurkannya tetap di Ujungpandang saja. "Orang macam kamu banyak
di Yogya, justru kamu sangat dibutuhkan di sini," demikian antara
lain saran pimpinan Mingguan Pedoman, Soegardo.

Maka ia bergabung dengan Mingguan Pedoman yang terbit sejak 1
Maret 1947 yang kemudian menjelma menjadi Pedoman Harian, seterusnya
menjadi harian Pedoman Rakyat (PR). Manuhua menjadi orang nomor satu
di PR setelah Sugardo diusir pemerintahan NIT, dan Henk Rondonuwu
mengundurkan diri dari kepemimpinan PR.

Dalam organisasi Perstuan Wartawan Indonesia Manuhua sudah
"karatan". Sejak tahun 1953 sampai sekarang Manuhua menjadi pengurus
pusat. Sebagai ketua, anggota dewan pembina dan terakhir sebagai
penasihat selama tiga periode (1983-1998).

Di Serikat Penerbit Suratkabar pun ia menjadi pengurus pusat
sejak tahun 1960-an sampai kini. Mulai dari anggota pleno, anggota
dewan kehormatan, anggota dewan pertimbangan, dan terakhir sebagai
ia menjabat Ketua Dewan Kehormatan SPS periode 1994 - 1999.
Manuhua pekerja pers yang nyaris sempurna. Bukan saja di PWI
dan SPS ia berkiprah, di dunia cetak mencetak pun ia aktif. Ia turut
mendirikan Serikat Grafika Pers dan sejak 1994 - 1999 masih duduk
selaku anggota dewan pembina.

Empat tahun setelah hijrah ke Ujungpandang, ia mempersunting
Johana Leonora Wacanno. Isteri yang memberinya delapan anak tersebut
juga berasal dari "Propinsi 1.000 Pulau".

Kakek 15 cucu ini berpendapat, wartawan yang baik adalah yang
obyektif. Untuk menjadi wartawan obyektif menurut Manuhua, wartawan
jangan mau masuk "kotak" terutama kotak-kotak organisasi politik.
"Begitu wartawan melangkah ke salah satu orsospol, maka hilanglah
obyektivitasnya. Hanya kotak dialah yang paling baik, hanya kotak
dia yang paling benar."

Dalam rangkaian Hari Pers Nasional yang rencananya berlangsung
dari 9 - 12 Februari 1995, di Manado, Sulut, Kompas mewawancarai
tokoh pers dari kawasan timur Indonesia ini. Berikut petikan
wawancaranya.
============================================================
MENGAPA menjadi wartawan?
Ketika pendudukan Jepang, saya mulai bekerja di kantor
pemerintah setempat. Kemudian dipindahkan ke sebuah kantor Jepang
juga yang berkedok urusan keberatan rakyat. Tapi cuma enam bulan.
Pada November 1943, saya menjadi wartawan surat kabar Sinar
Matahari di Ambon, sebagai reporter. Usia saya baru 18 tahun, tapi
sebelumnya sudah sering menulis artikel pada koran itu mengenai
kegiatan pemuda dan mengobarkan nasionalisme. Sebagai tamatan
perguruan Balai Pendidikan yang berafiliasi dengan Taman Siswa, kita
diajarkan nasionalisme. Maka media pers adalah sarana perjuangan
yang luhur untuk kepentingan bangsa dan tanah air.

Apakah memang bercita-cita jadi wartawan?
Saya sama sekali tidak berkeinginan pekerjaaan kewartawanan ini
akan saya jalani seumur hidup. Tapi, begitu melengket, kok tak bisa
lepas lagi. Selain media surat kabar, saya juga menyalurkan aspirasi
kemerdekaan melalui sandiwara. Dulu di sana ada satu perusahaan
hiburan bernama Sandiwara Arjuna. Saya anggota di situ. Tiap malam
naik panggung.

Lalu...?
Jepang kalah, diterbitkan surat kabar Pendidikan Rakyat. Saya
masuk, sebab yang menerbitkannya orang-orang Sinar Matahari juga.
Pendidikan Rakyat berubah menjadi Masa, tahun 1946. Masa terutama
membawakan suara Partai Indonesia Merdeka (PIM).
Ternyata, kegiatan surat kabar dan organisasi itu mendapat
perhatian juga dari Belanda. Saya diperiksa Oditur Militer Belanda
karena tulisan saya di Masa mengenai korupsi bahan-bahan makanan.
Semula pemimpin redaksinya dimintai keterangan, akhirnya ia
melimpahkannya kepada saya sebagai penulis artikel.

Panggilan itu dipenuhi?
Saya penuhi. Ya, saya baca juga KUHP Belanda. Oditur itu
mengancam saya bisa sampai kehilangan hak memilih dan dipilih. Saya
takut juga. Kita memperjuangkan demokrasi dan demokrasi itu, di situ
justru kita punya hak memilih dan dipilih. Tapi hari ketiga
pemeriksaan, suaranya agak menurun dan lebih banyak menasihati saya.
Bahkan dia minta saya sewaktu-waktu datang ke rumahnya untuk
berbincang-bincang. Tapi saya tidak pernah datang.

Bagaimana sampai "terdampar" di Makassar?
Karena tulisan di surat kabar ditambah kegiatan di organisasi
pemuda, saya dikenakan tahanan kota. Seandainya tidak ada tahanan
kota, kemungkinan saya tidak pernah keluar dari Ambon. Bulan
Februari 1946 saya mendirikan organisasi pemuda PPI (Persatuan
Pemuda Indonesia). Tujuannya melakukan perjuangan melawan Belanda.
Untuk kepentingan perjuangan PPI saya pernah mencari sisa-sisa
senjata Jepang ke Pulau Seram. Ternyata sudah dilucuti tentara
Sekutu, Australia.

Gara-gara tahanan kota, keluar dari Ambon ?
Status tahanan kota ini suatu tantangan bagi saya. Saya harus
terobos. Tujuan saya ke Yogyakarta, ibu kota RI untuk ikut berjuang.
Kebetulan, April 1947 ada kapal Belanda yang mau ke Makassar
(sekarang Ujungpandang) tiba dari Irian. Tiba pukul delapan malam,
dan akan berangkat pukul 10 malam. Saya pikir ini kesempatan paling
baik. Karena waktu singgahnya pendek, tentu kontrolnya kurang.
Kebetulan pula, saya ingin menghadiri pembukaan Parlemen Negara
Indonesia Timur (NIT) di Makassar, untuk berita di Masa. Kalau tidak
salah, tanggal 20 atau 21 April 1947.

Saya sudah punya tiket dengan nama orang lain. Tak seorang pun,
termasuk orangtua, tahu rencana ini karena saya takut gagal
berangkat. Begitu saya naik kapal, saya sembunyi di kamar seorang
anggota parlemen beraliran kebangsaan juga. Di situlah, baru
ketahuan karena bertemu ibu asuh dan juga guru saya, Ny Pupela.
Waktu itu, dia mendampingi suaminya mengikuti acara pembukaan
Parlemen NIT.

Beberapa mil sebelum kapal itu tiba di Makassar, ada
pengumuman. Semua penumpang dilarang turun. Polisi akan masuk ke
kapal, karena ada orang yang lari dari Ambon. Cilaka. Saya pikir,
barangkali saya yang dimaksud.

Bagaimana menyelamatkan diri?
Waktu terdengar pengumuman itu, saya di tempat nakhoda. Karena
bawa foto tustel, saya berlagak saja. Tidak ada filmnya. Waktu itu,
kita mau dapat film dari mana. Sewaktu kapal mulai sandar di
dermaga, saya mulai beraksi, pura-pura jepret sana, jepret sini.
Ketika polisi mau naik, saya lebih dulu turun. Berlagak mau
foto polisi toh! Saya foto polisi itu sambil mundur-mundur. Waktu
mundur, mundur, mundur, saya bertemu penjemput Ny Pupela. Saya
langsung naik mobilnya sembunyi. Mobil truk, ha...ha...ha...

Lalu?
Besoknya saya hadiri acara pembukaan parlemen NIT di Frater,
sekarang SMA Rajawali. Di situ saya bertemu sejumlah wartawan yang
diundang ketua parlemen Mr Tajoeddin Noer. Antara lain, Sukrisno
dari Antara Jakarta, Siagian dari sebuah majalah di Yogya, dan Wim
Latumeten dari Kementerian Penerangan RI.

Pada suatu hari ketika meliput sidang parlemen, saya berkenalan
dengan Soegardo yang waktu itu pemimpin majalah Pedoman. Majalah ini
kemudian menjadi Pedoman Harian lalu berubah lagi jadi Harian
Pedoman Rakyat (PR) seperti sekarang. Dia tanya, mau ke mana setelah
ini. Saya bilang mau ke Yogya, sebab di Ambon tidak bisa berkembang
dan terlalu ditekan.

Soegardo menganjurkan saya tinggal saja membantu Pedoman.
Teman-teman seperti Sukrisno dan Siagian, juga menganjurkan saya
tidak usah ke Yogya. Katanya, tenaga seperti saya ini berlebihan di
sana. Justru di Makassar, tenaga seperti saya kurang. Saya pikir
benar juga. Saya putuskan, lebih baik tinggal di sini.

Lalu muncul keinginan seterusnya menekuni dunia kewartawan ini?
Sebenarnya saya dilahirkan untuk menjadi wartawan. Tapi bukan
cita-cita saya seumur hidup menjadi wartawan. Saya cuma beranggapan,
bagi saya, perjuangan menegakkan nasionalisme dan kemerdekaan satu-
satunya tempat adalah di bidang jurnalistik, tetapi bukan sebagai
pemimpin perusahaan atau penerbitan.

Kalau saya bertukar pikiran dengan Pak Jakob (Jakob Oetama,
Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Kompas - Red), saya punya garis nasib
seperti dia. Tetapi karena meningalnya PK Ojong, dia terpaksa
mengambil alih. Tapi latar belakang kami berbeda. Henk Rondonuwu
(yang menggantikan Sugardo) bukan meninggal. Dia itu politikus dan
wartawan. Sebenarnya prinsip kami sama, bukan pengusaha. Kalau Pak
Hengki wartawan dan politikus, saya bukan politikus.

PEDOMAN Rakyat tentu jatuh bangun juga sampai bisa seperti sekarang?
Ketika saya tiba di Makassar, Pedoman baru berusia sekitar satu
setengah bulan (didirikan 1 Maret 1947). Saya lihat segala-galanya
memang tidak ada. Kemudian saya dengar di sini ada seorang pejuang
yang dermawan, yaitu Andi Burhanuddin memberikan modal permulaaan
kepada majalah tengah bulanan Pedoman.

Kita terbit 36 halaman folio, kadang-kadang 12 halaman saja
berupa stensilan. Ternyata mendapat sambutan baik dari
pejuang, republiken yang berhadapan golongan federalis pimpinan
Van Mook. Tujuan kita, informasi yang disebarkan melalui mingguan
Pedoman sebanyak mungkin dapat dibaca. Masyarakat kita juga
terbatas penghasilannya, sehingga sukar diharapkan ada uang masuk
dari langganan. Jadi kita tidak menuntut, walaupun tiap-tiap
terbit mereka kita beri. Ini idealisme. Itu berlangsung belasan
tahun.

PR pernah jadi panggung Sulsel, sekarang semakin banyak
saingan. Bagaimana?
Memang dulu kita sendirian (harian). Tatkala datang harian
lain sebagai saingan, saya justru menganggap manfaatnya
sangat besar bagi tenaga kita, wartawan maupun tenaga di
bidang kepengusahaan. Karena ada persaingan, masing-masing harus berusaha
mempertahankan hak hidupnya.
Kita tekankan jangan kurang daripada apa yang bisa
diprestasikan pesaing kita. Walaupun kita akui saingan
berada dalam dalam grup konglomerasi, sehingga mereka mempunyai
kesempatan dan kemapuan lebih besar dibanding kita dalam
pengembangan di segala bidang termasuk bentuk persaingan
yang kadang-kadang menyimpang dari penggarisan organisasi.

Itu ada ya?
Ada. Misalnya, persiangan secara tidak sehat. Itu ada.

Konkretnya?
Dumping iklan, eceran, dan nomor perkenalan. Menurut
ketentuan, nomor perkenalan hanya tiga bulan. Berbagai surat
kabar yang berada dalam konglomerasi, kadang-kadang malah lebih
dari setahun memberi nomor perkenalan.

Bagaimana dengan lembaga kontrol?
Saya ini wasit, Ketua Dewan Kehormatan SPS dan bertugas untuk
itu.

Apa tindakan Anda?
Sukar. Banyak problem. Tapi saya kira tidak relevan diungkapkan
di sini. Itu masalah lain lagi.

Berapa tiras PR sekarang?
Masih tetap seperti dulu, sekitar 22.000.

Sengaja bertahan pada angka tiras itu?
Tidak, tetap sesuai pasar sebab sekarang semua berorientasi ke
pasar.

Bagaimana pengembangan PR di masa depan?
Semenjak awal 1994 saya merasakan eksistensi koran di daerah
agak terancam. Karena kemajuan teknologi, khususnya komunikasi,
televisi kita sudah lima stasiun. Tayangannya hampir 24 jam. Orang
hampir tidak punya waktu lagi membaca. Informasi yang lebih cepat,
lebih banyak mereka dapat melalui televisi. TV bisa menyiarkan
berita yang sedang terjadi, sedangkan koran menyiarkan berita yang
sudah terjadi. Terlambat selalu toh. Ini mengakibatkan masyarakat di
daerah yang kegemaran membacanya sudah rendah, menjadi lebih tidak
bergairah.

Iklan-iklan pun diserap televisi. Surat kabar terutama di
daerah sudah hampir tidak mendapat porsi lagi. Ketentuan perpajakan
yang mengharuskan PPN 10 persen dalam penjualan surat kabar
mengakibatkan harga koran bisa lebih mahal. Kita sulit memungut PPN
10 persen dari pelanggan. Sedangkan pihak pajak tidak mau tahu.
Dipungut atau tidak, apa yang ada dalam pembukuan langsung
dibebankan 10 persen PPN.

PR sekarang Rp 12.000 per bulan, kalau PPN dibebankan kepada
pelanggan, menjadi Rp 13.200. Sedangkan Rp 12.000 saja sudah susah,
apalagi kalau tambah lagi. Mereka sudah malas membaca karena
televisi, sekarang harga dinaikkan lagi dengan PPN, semakin tidak
membaca koran nantinya. Kami yang bayar PPN.

Masalah lainnya, kertas koran yang semakin mahal, dan terbatas
diproduksi di dalam negeri. Sedangkan untuk impor, dikenakan bea
masuk cukup berat. Dengan harga kertas koran yang terus naik, tiras
yang menurun, PPN 10 persen, alangkah beratnya bagi surat kabar
daerah mengembangkan diri.

Barangkali perlu pengaturan lagi soal PPN koran?
Memang. Bukan berarti koran di daerah tidak bisa bayar pajak
menurut ketentuan yang berlaku. Tetapi kalau segi-segi lain juga
menjadi pertimbangan pemerintah, justru di dalam pembangunan
sekarang ini yang tujuannya terutama ke daerah, khususnya kita di
kawasan timur ini, maka mestinya dalam penjualan koran yang
tujuannya menyebarkan informasi diberlakukan ketentuan PPN secara
progressif. Misalnya, surat kabar yang bertiras sampai 20.000,
dikenakan PPN nol persen. Yang 20.001 sampai 35.000 dikanakan PPN 5
persen. Tiras di atas 35.001, baru dikenakan 10 persen.

TIDAK ada rencana bergabung dengan kelompok media besar?
Belum ada rencana.

Mengapa bertahan sendirian?
Begini, tatkala konglomerasi mulai melebarkan sayapnya ke mass
media, mereka mencari penerbitan yang tidak punya apa-apa. Mereka
tidak melihat PR sebagai sasaran sebab PR semuanya sudah ada.
Kalaupun kita mau bergabung, apa yang kita minta.

Bagaimana wartawan yang baik menurut Anda?
Wah... Saya tidak bilang saya ini wartawan yang baik. Tetapi,
saya merasakan wartawan yang baik adalah wartawan yang obyektif.

Bagaimana kiat menjadi wartawan yang obyektif ?
Tidak terikat di dalam suatu organisasi politik. Itulah
sebabnya sejak penyerahan kedaulatan saya tidak menggabungkan diri
dalam sesuatu parpol, sampai sekarang.
Sebab begini, saya melihat jika kita terikat dalam satu partai
politik, kita tidak bisa obyektif dalam sesuatu permasalahan. Sampai
tahun 1960-an, saya wajibkan semua anggota redaksi PR tidak menjadi
anggota partai politik. Mengapa? Karena dalam pergolakan politik
yang tidak habis-habisnya berlangsung di Indonesia ini dia bisa
berdiri di atas semua pihak. Anggapan saya, seorang wartawan baru
bisa obyektif manakala tidak terikat pada salah satu kelompok.
Kelompok apa pun, terutama politik.

Anda punya hobi olahraga berburu. Apa ada kaitan semangat
kewartawanan dengan berburu?
Berburu apa dolo, nona-nona kah apa ... ha ... ha...
Ya, memang sesuatu itu bermakna dalam kehidupan. Berburu,
ketemu sasaran, kadang-kadang lupa waktu. Nanti sadar, eh.. su
gelap. Tapi saya berhenti sejak Pak Jusuf (Jendral TNI Purn Muhammad
Jusuf) pindah ke Jakarta. Juga mata saya sudah mulai payah. Tapi
saya masih suka ke kebun.

Andaikan ada reinkarnasi, mau jadi apa?
Tetap jadi wartawan. Ah, kau ini. Ha...ha...ha...
***
Pewawancara:

Andi Suruji
Fahmy Myala


KOMPAS - Minggu, 05 Feb 1995 Halaman: 2

Tidak ada komentar: